E-mail:
fikriyudin@yahoo.com/fikriyudin@gmail.com
Abstrak
Sebagian
besar kalangan menganggap bahwa filologi adalah sebuah studi yang kurang
menarik. Objek kajian yang dianggap telah usang dan beberapa alasan lainnya
dijadikan stigma untuk disiplin ilmu yang satu ini. Namun sejarah membuktikan
kejayaan kajian filologi, baik dalam tradisi Barat maupun Islam. Di Indonesia
sendiri, manuskrip-manuskrip Nusantara telah ditemukan pada abad ke-7. Namun,
kajian filologi pertama kali dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Filolog pribumi sendiri baru bermunculan pada tahun 1965-an.
Pengantar
Dalam kajian ilmu-ilmu humaniora, filologi sering dijadikan sebagai
anak tiri. Tidak jarang filologi dipandang sebagai sebuah disiplin keilmuan
yang kurang menarik, tidak trendi, dan mungkin, telah using. Stigma terhadap
disiplin Filologi ini, antara lain didasari dari objek kajian filologi yang
berupa teks-teks tua yang usang ditelan zaman. Bentuk fisik yang sangat usang
tersebut sangat tidak menggairahkan untuk ditelaah di zaman moderen ini. Alasan
kedua yang membuat filologi kurang diminati, karena terdapat anggapan bahwa isi
teksnya yang merupakan pergulatan intelektual di masa lalu, tidak layak dibahas
pada masa sekarang. Mereka menganggap, tidak ada gunanya membangkitkan sesuatu
yang telah mati. Persepsi yang disampaikan kelompok ini, didasari dari asumsi
bahwa filologi tidak memiliki kontribusi yang nyata dalam menyelesaikan
problmatika yang dialami oleh manusia modern.
Namun, stigma-stigma yang dilontarkan untuk mendiskriminasi
filologi, nampaknya tak memiliki landasan historis yang kuat. Disiplin filologi
pernah mencapai prestasi spiritual dan ilmiah dalam berbagai peradaban, baik peradaban Barat maupun
peradaban Islam. Reynolds dan N. G. Wilson, sebagaiamana dikutip sudibyo (2007:
108) menjelaskan bahwa pada abad ke-3 SM para ahli bahasa yang berdomisili di
Komplek Perpustakaan Iskandariyah berhasil memecahkan kode-kode aksara Yunani
Kuno, yang kemudian sangat bermanfaat untuk menyingkap misteri di balik
gulungan papyrus koleksi perpustakaan tersebut. Para intelektual tersebut juga
berhasil merekonstruksi logos (sabda langit) dalam Al-Kitab yang waktu
itu terdapat dalam beberapa versi.
Dalam tradisi Islam, kajian filologis bermula dari terkonstruknya
tata bahasa ilmiah karya Khalid bin Ahmad dan Sibaweyh, serta kebangkitan
peradaban fiqh (Yurispudensi), ijtihad (hermeneutika
yurispudensi), dan ijtihad (interpretasi). Pada tahap selanjutnya, fiqh
lughawi, hermeneutika bahasa muncul dalam budaya Arab-Islam sebagai bagian
yang tak terpisahkan dalam praktik pembelajaran Islam. Aktivitas-aktivitas ini
berlangsung pada abad ke-12 dalam tradisi intelektual Islam, jauh sebelum dunia
Barat-Kristen mengadopsinya. (Sudibyo, 2007:108)
Geliat perkembangan filologi juga terjadi di Indonesia. Meski
bangsa ini baru genap berusia 70 tahun pada 17 Agustus lalu, namun Indonesia
memiliki peninggalan manuskrip-manuskirp yang sangat banyak. Tidak kurang dari
5000 naskah dengan 800 teks tersebar dalam berbagai museum dan perpustakaan di
penjuru dunia. (Siti Bararah Baried, dkk, 1994: 9). Objek kajian filologi yang
melimpah di bumi Nusantara, seharusnya menjadi mortar bagi kebangkitan kajian
filologi di negeri ini. Sejarah kajian filologi di Nusantara perlu diangkat ke
permukaan, guna mendesripsikan geliat kajian filologi. Lebih lanjut, kajian ini
bisa menjadi tolak ukur telah sejauh mana kajian filologis di Indonesia.
Bahasan
Secara etimologis, filologi berarti ketertarikan terhadap kata.
Dalam arti ini, filologi bersinonim dengan berbagai kajian tentang bahasa, dan
hampir seluruh studi tentang produk jiwa manusia. Namun, secara khusus,
filologi dimaknai sebagai konfigurasi keahlian ilmiah yang sesuai dengan kekuratoran
teks historis (historical text curatorship) (Sudibyo, 2007: 108). Dalam
artian khusus ini, filologi memiliki dua tugas utama, mengidentifikasi dan
merestorasi setiap teks dari berbagai masa yang telah lampau.
Di Indonesia, tradisi peulisan naskah sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan India, terutama sebelum abad ke-14 M. Teks-teks yang diprediksi
muncul sejak abad ke-7 banyak dipengaruhi oleh agama Budha, serta menggunakan
bahasa sansekerta sebagai bahasa pengantarnya. Hal ini dapat dimaklumi, karena
pada saat itu, Sriwijaya menjadi pusat pemerintahan yang menguasai Nusantara.
Teks yang berasal dari India banyak disalin, didiskusikan, dan
diberikan komentar dalam bahasa Jawa Kuno. Dalam kurun waktu beberapa abad,
bahasa Sansekerta menjadi salah satu bahasa terpenting bagi kalangan
cendikiawan dan agamawan di Sumatra, Jawa, dan Bali. Pada perkembangan
selanjutnya, model-model teks sansekerta ini banyak memengaruhi penulisan teks
asli dalam bahasa Jawa Kuno yang menyebabkan karakteristik tersendiri dalam
penulisan teks di Nusantara pada kala itu (Oman Fathutahman, 2015: 41).
Salah satu perubahan penting dalam sejarah dan tradisi tulis naskah
di Indonesia adalah ketika pengaruh Islam semakin kuat pada abad ke-13, serta
bergantinya bahasa sansekserta menjadi bahasa Melayu sebagai bahasa politik,
dagang, agama, dan budaya. Pada abad ke-14, tradisi penulisan naskah Melayu
dengan menggunakan aksara Jawi mulai mendominasi, khususnya di wilayah Selat
Malaka. Namun, sampai saat ini, jejak-jejak aksara pra-Islam masih dapat
ditemukan (Oman Fathurahman, 2015: 42).
Meski manuskrip-manuskrip Nusantara telah ada sejak abad ke-7 M, namun
kajian filologi di Indonesia baru tumbuh dan berkembang pada saat Pemerintah
Kolonial Belanda melalui ide beschaving missie (misi pemberadaban).
Untuk mewujudkan visi tersebut, Belanda membangun dua institusi pusat: Nederlandsch
Bijbelgenootschap (NBG) dan Koninklijk Instituut voor Taal-en
Volkenkunde (KITLV). NBG bergerak dalam syiar agama Kristen, sedangkan
KILTV fokus dalam riset bahasa, geografi, dan antropologi (Sudibyo, 2007: 111).
Salah satu misi utama NBG adalah menerjemahkan Al-Kitab dalam
bahasa daerah di wilayah jajahan Belanda. Untuk itu, NBG tidak ingin merekrut
penerjemah amatir. Lembaga tersebut menetapkan syarat yang ketat untuk
penerjemah Al-Kitab yang diberi kedudukan sebagai taalafgecaardidge (utusan
bahasa). Dapat difahami, tujuan dari dibentuknya lembaga ini adalah untuk
menanamkan nilai-nilai kristiani kepada penduduk pribumi.
Sedangkan KITLV didirikan untuk menginfentaris pengetahuan ilmiah
tentang bahasa, geografi, dan antropoplogi Jawa yang dapat memberikan
kontribusi nyata bagi pemerintah kolonial. Dengan cara demikian, maka kekuasaan
Belanda dapat dipertahankan dalam kurun waktu yang lama. (Sudibyo, 2007: 112) Tujuan
itu menjelaskan bahwa lembaga KITLV didirikan untuk mempertahankan pemerintahan
absolut Belanda di bumi Nusantara, khususnya Jawa.
Hasrat intelektual pribumi untuk mengkaji teks-teks Nusantara baru
muncul setelah tahun 1965, ketika mulai terjalin pelbagai kerjasama antara
perguruan tinggi Indonesia dengan sejumlah institusi yang ada di luar negeri.
Sebelumnya, kajian-kajian filologi di Indonesia belum terbina. Salah satu hal
yang paling memengaruhi adalah masuknya berbagai teori sastra, sepert strukturalisme,
intertekstualitas, resepsi, serta berbagai teori lainnya ke dalam khazanah intelektual
di Indonesia, tak terkecuali para pengkaji naskah. Hal tersebut terjadi pada
awal tahun 1960-an (Oman Fathurhman, dkk, 2010: 16).
Berbagai pendekatan teori sastra
dalam mengkaji naskah-naskah kuno tersebut, telah memberikan kontribusi besar
dalam perkembangan kajian filologi di Indonesia. Ikram, sebagaimana dikutip
Oman Fathurahman, dkk (2010:17) mengatakan bahwa para filolog menjadi lebih
sistematis dalam menelusuri makna dan fungsi naskah sebagai sebuah jenis sastra
lama. Hingga saat ini, pendekaan kajian
naskah dengan memanfaatkan berbagai teori sastra banyak diikuti oleh para
pengkaji naskah generasi selanjutnya.
Simpulan
Meski baru berumur 70 tahun, Indonesia telah memiliki beribu-ribu
naskah kuno yang tersebar di berbagai negeri. Meski demikian, kajian filologi
pertama kali dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan mendirikan dua
lembaga: NBG dan KILTV. Namun, harus ada pemetaan kembali, mengingat hasil
kajian filologi orientalis hanya berorientasi pada kebutuhan kolonialisme.
Kebangkitan filolog pribumi sendiri telah terlihat pada tahun 1965-an. Dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan teori sastra, kajian filologi di Nusantara
terus berkembang hingga sekarang.
Referensi
Baried, Siti Bararah, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Jogjakarta:
BPPF Seksi Filologi, Fak. Sastra, UGM).
Fathurahman, Oman, dkk. 2010. Filologi dan Islam Indonesia. Jakarta:
Pasutbang Lektur Keagamaan.
--------------------------------. 2015. Filologi Indonesia:
Teori dan Metode. Jakarta: Prenada Media Group
Sudibyo. 2007. Kembali ke Filologi: Filologi Indonesia dan
Tradisi Orientaslisme. Dalam Jurnal Humaniora Volume 19. Jogjakarta:
Universitas Gajah Mada.