BAB I
1.1. Latar Belakang Penulisan
Islam
merupaka agama rahmatan lil ‘alamin. Ajaran Islam tidak hanya mencakup hubungan
vertical antara Tuhan dengan hamba-Nya, akan tetapi Islam juga telah mengatur hubungan
horizontal antar sesama makhluk. Hubungan horizontal atau yang lebih dikenal
dengan sebutan hablum minannas merupakan
bentuk interaksi antar sesame manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, atau
dengan makhluk lainnya.
Di dalam
kajian Islam yang memiliki sumber primer Al-Qur’an dan Al-Hadits, hubungan
tersebut telah diatur sedemikian rupa agar terbentuk pola komunikasi dan
interaksi yang harmonis antar-sesama makhluk. Setiap peraturan yang ada, terus
disesuaikan dengan dinamika kehidupan manusia yang semakin berkembang. Meski
demikian, praktik ideal dari setiap peraturan yang dibuat harus berlandaskan
nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur’an.
Dalam
makalah ini, akan lebih spesifik dibahas mengenai politik dalam pandangan
Al-Qur’an. Politik merupakan salah satu pola interaksi horizontal yang tidak
terlepas dari pola vertical. Pola ini disusun sebagai sebuah system yang
berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia. Aristoteles bahkan menilai politik
sebagai sebuah jalan untuk mencapai kebahagiaan.
Pembahasan
politik berdasarkan ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an dirasa perlu.
Hal ini dikarenakan telah banyak penyimpangan yang dilakukan oleh para elit
politik dalam menggunakan kekuasaannya di panggung politik. Untuk itu, makalah
ini coba dihadirkan untuk membenahi nilai-nilai politik berdasarkan Al-Qur’an.
1.2. Rumusan Masalah
Untuk
mempermudah kajian mengenai wawasan politik berdasarkan Al-Qur’an, maka
dibutuhkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengertian politik?
2. Bagaimanakah macam-macam politik?
3. Bagaimanakah fungsi politik?
4. Bagaimanakah hikmah politik?
1.3. Tujuan Penulisan
Sealur dengan rumusan masalah di atas,
maka tujuan penulisan makalah ini ialah:
1. Mendeskripsikan pengertian politik
2. Mendeskripsikan macam-macam politik
3. Mendeskripsikan fungsi politik
4. Mendeskripsikan hikmah politik
BAB II
2.1. Pengertian Politik
Politik merupakan cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat
dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah
hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia.[1]
Mengacu pada persoalan tersebut, Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa
Yunani dan atau latin politicos atau politicus yang berarti relating
to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai “segala urusan dan tindakan
(kebajian, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan Negara atau terhadap
Negara lain.” Juga dalam arti “kebajikan, cara bertindak (dalam menghadapi atau
menangani satu masalah).”[2]
Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya
diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu
yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan mengatur, dan sebagainya.
Dari akar kata yang sama ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman,
kutu, atau rusak.
Pengertian politik dalam fiqih Islam menurut ulama Hanbali, adalah
sikap, perilaku dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada
kemaslahatan, sekaligus menjauhkan dari kemafsadahan, meskipun belum pernah
ditentukan oleh Rasulullah. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian lain, yaitu
mendorong kemaslahatan makhluk dengan memberikan petunjuk dan jalan yang
menyelamatkan meraka di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah
mengatakan, politik harus sesuai dengan syari’at Islam, yaitu setiap upaya,
sikap dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari’at.[3]
Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kata yang berbentuk dari akar kata sasa-yasusu,
namun ini bukan berarti Al-Quran tidak menguraikan sol politik. Sekian
banyak ulama Al-Qur’an yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan
Al-Qur’an dan sunah Nabi sebagai rujukan. Bahkan Ibnu Taimiyah (1263-1328)
menamai salah satu karya ilmiahnya dengan As-Siyasah Asy-Syar’iyah (politik
keagamaan).
Uraian Al-Qur’an tentang politik secara sepintas dapat ditemukan
pada ayat-ayat yang berakar hukm. Kata ini pada mulanya berarti
“menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan”. Dari akar kata yang sama
terbentuk kata hikmah yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini
sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais-siyasat, yang berarti
mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.
Hukm dalam
bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata “hokum” dalam bahasa Indonesia yang oleh kamus dinyatakan
antara lain berarti “putusan”. Dalam bahasa Arab kata ini berbentuk kata jadian,
yang bisa mengandung berbagai makna, bukan hanya bisa digunakan dala arti
“pelaku hukum” atau diperlakukan atasnya hukum, tetapi juga ia dapat berate
perbuatan dan sifat. Sebagai “perbuatan” kata hukm berarti membuat atau
menjalankan putusan, dan sebagai sifat yang menunjuk kepada sesuatu yang
diputuskan. Kata tersebut jika dipahami sebagai “membuat atau menjalankan
keputusan”, maka tentu pembuatan dan upaya menjalankan itu ,baru dapat
tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya berlaku hukum tersebut. Ini
menghasilkan upaya politik.[4]
Kata siyasat sebagaimana dikemukakan diatas diartikan dengan
politik dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat.
Di sisi lain terdapat persamaan makna antara pengertian kata hikmat
dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmat sebagai kebijaksanaan, atau
kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau
menghindarkan mudarat. Pengertian sejalan dengan makna kedua yang dikemukaka
Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti politik, sebagaimana dikutip
diatas.
Dalam Al-Qur’anditemukan dua puluh kali kata hikmah, kesemuanya
dalam konteks pujian. Salah satu diantaranya adalah surat Al-Baqarah (2):269:
وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ
خَيْراً كَثِيراً
“Siapa yang dianugerahi hikmah, maka dia telah dianugerahi
kebajikan yang banyak”
Wawasan Politik dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an ditemukan sekian banyak ayat yang berbicara tentang
hukm (arab). Pengamatan sepintas, boleh jadi menghantarkan orang yang berkata,
bahwa ada ayat Al-Qur’an yang secara tegas mengkhususkannya hanya kepada dan
bersumber dari Allah yakni ayat yang menyatakan,
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS Al-An’am[6]:57).
Kelompok Khawarij yang tidak menyetujui kebijaksanaan khalifah
keempat Ali bin Abi Thalib pernah mengangkat slogan yang bunyinya sama dengan
redaksi penggalan ayat tersebut, tetapi ditanggapi oleh Ali r.a. dengan
berkata,
كلمة حق أريد بها باطل
Kalimat yang benar, tetapi yang dimaksudkan adalah batil.
Memang ada empat ayat yang menggunakan redaksi tersebut, tetapi ada
dua hal yang harus digarisbawahi dalam
hubungan ini.
Pertama,
keempat ayat yang menggunakan redaksi tersebut dikemukakan dalam konteks
tertentu. Perhatikan ayat-ayat berikut:
قُلْ إِنِّي نُهِيتُ
أَنْ أَعْبُدَ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ قُل لاَّ أَتَّبِعُ أَهْوَاءكُمْ
قَدْ ضَلَلْتُ إِذاً وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ -٥٦- قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ
مِّن رَّبِّي وَكَذَّبْتُم بِهِ مَا عِندِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ
إِلاَّ لِلّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ -٥٧-
Katakanlah, “Sesungguhnya aku dilarang menyembah apa-apa yang kamu
sembah selain Allah”. Katakanlah, “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu.
Sungguh tersesatlah aku
jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang
mendapat petunjuk”. Katakanlah, “Sesungguhnya aku berada diatas bukti yang
nyata (Al-Qur’an). Bukanlah wewenangku untuk menurunkan azab yang kamu tuntut
disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. Dia menerangkan
yang sebenarnya dan Dia Pemberi Keputusan yang baik” (QS Al-An’am [6]: 56-57).
Ayat ini seperti terbaca berbicara dalam konteks ibadah serta
keputusan menjatuhkan sanksi hukum yang berkaitan dengan wewenang Allah.
Dalam surat Yusuf (12): 40, dan 67 redaksi serupa juga ditemukan .
Ayat 40 berbicara dalam konteks mengesakan Allah dalam ibadah:
Menetapkan hukum adalah hak Allah, Dia memerintahkan agar kamu
tidak menyembah selain Dia.
Sedangkan ayat 67 berbicara tentang kewajiban berusaha dan
keterlibatan takdir Allah.
وَقَالَ يَا بَنِيَّ
لاَ تَدْخُلُواْ مِن بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُواْ مِنْ أَبْوَابٍ مُّتَفَرِّقَةٍ وَمَا
أُغْنِي عَنكُم مِّنَ اللّهِ مِن شَيْءٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ
وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ -٦٧-
Wahai anak-anakku, jangan masuk dalam satu pintu gerbang, tetapi
masuklah dari pintu gerbang yang berlain-lainan. Namun demikian aku tidak dapat
melepaskan kamu barang sedikitpun dari takdir Allah. Keputusan yang menetapkan
sesuatu hanyalah hak Allah. Kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal
berserah diri.
Ayat keempat dan terakhir menggunakan redaksi yang sedikit berbeda,
yang terdapat dalam surat Al-An’am (6): 62,
ثُمَّ رُدُّواْ إِلَى
اللّهِ مَوْلاَهُمُ الْحَقِّ أَلاَ لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ
-٦٢-
Kemudian (setelah kematian) mereka dikembalikan kepada (putusan)
Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya . Ketahuilah bahwa segala hukum (pada
hari itu) hanya milik-Nya saja. Dialah pembuat perhitungan yang paling cepat.
Sebagaimana terbaca, ayat ini berbicara tentang tentang ketetapan
hukum yang sepenuhnya berada ditangan Allah sendiri pada hari kiamat.
Di sisi lain, ditemukan sekian banyak ayat yang menisbahkan hukum
pada manusia, baik dalam kedudukannya sebagai nabi maupun manusia biasa,
Perhatian firman Allah dalam dalam surat Al-Baqarah (2):213 yang berbicara
tentang diutusnya para nabi, dan diturunkannya kitab suci kepada mereka dengan
tujuan-menurut redaksi Al-Qur’an:
ليحكم بين الناس فيما اختلفوا فيه
Agar masing-masing Nabi memberi keputusan tentang perselisihan
antar manusia.
Di samping perintah kepada Nabi-nabi, ada juga perintah yang
ditujukan kepada seluruh manusia yang berbunyi:
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ
أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن
تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ
سَمِيعاً بَصِيراً -٥٨-
Dan apabila kamu berhukum (menjatuhkan putusan) diantara manusia,
maka hendaklah kamu memutuskan dengan adil (QS An-Nisa’[4]:58).
Kedua,
kalaupun ayat-ayat yang berbicara tentang kekhusuan Allah dalam menetapkan
hukum atau kebijaksanaan, dipahami terlepas dari konteksnya, maka kekhusuan
tersebut bersifat relatif, atau apa yang diistilahkan oleh ulama-ulama
Al-Qur’an dengan hasr idhafi. Dengan memperhatikan keseluruhan ayat-ayat yang
berbicara tentang pengembalian keputusan, dapat disimpulkan bahwa Allah telah
memberi wewenang kepada manusia untuk menetapkan kebijaksanaan atas dasar
pelimpahan dari Allah Swt., dan karena itu manusia yang baik adalah yang
memperhatikan kehendak pemberi wewenang itu.[5]
2.2. Macam-Macam Politik
Politik Islam secara umum terbagi menjadi tiga macam:
1.
Siasah
Dusturiah
Siasah Dusturiah merupakan segala bentuk tata ukuran atau
teori-teori tentang politik tata Negara dalam Islam atau yang membahas masalah
perundang-undangan Negara agar sejalan dengan dengan nilai-nilai Syari’at.
Artinya undang-undang itu mengacu terhadap konstitusinya yang tercermin dalam
prinsip-prinsip Islam dalam hukum-hukum syariat yang disebut dalam al-qur’an
dan sunah Nabi, baik mengenai akidah, ibadah, akhlak, muamalah, maupun berbagai
macam hubungan yang lain.
Prinsip-prinsip yang diletakkan dalam perumusan undang-udang dasar
adalah jaminan atas hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan
kedudukan semua orang di mata hukum tanpa membeda-bedakan strifikasi social,
kekayaan, pendidikan, dan agama sehingga tujuan dibuatnya peraturan
perundang-undangan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dan untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Sebagai suatu petunjuk bagi manusia, Al-Qur’an menyediakan
suatu dasar yang kukuh dan tidak berubah bagi manusia prinsip-prinsip etik dan
moral yang perlu bagi kehidupan ini.
2.
siasah
dauliyah
Siasah dauliah
merupakan segala bentuk tata ukuran atau teori-teori tentang system hukum
internasional dan hubungan antar bangsa. Pada awalnya Islam hanya
memperkenalkan satu system kekuasaan dibawah risalah Nabi Muhammad SAW dan
berkembang menjadi system khilafah atau kekhilafahan.
Dalam system ini dunia internasional, dipisah dalam tiga kelompok
kenegaraan, yaitu;
a.
Darussalam,
yaitu Negara yang ditegakkan atas dasar syariat Islam dalam kehidupan.
b.
Darul-Harbi,
yaitu Negara non islam yang kehadirannya mengancam kekuasaan Negara-negara Islam
serta menganggap musuh terhadap warga negaranya yang menganut Islam
c.
Darul-sulh,
yaitu Negara non Islam yang menjalin persahabatan dengan Negara-negara Islam,
yang eksistensinya melindungi warga Negara yang menganut agama Islam
Antara Darussalam dan darul sulh terdapat persepsi yang sama tentang
batas kedaulatannya, untuk saling menghormati dan bahkan menjalin kerja sama
dengan dunia internasional. Keduanya saling terkait oleh konveksi untuk saling
menyerang dan hidup bertetangga secara damai, sementara hubungan antara
darus-salam dengan darul-harb selalu diwarnai sejarah hitam. Masing-masing
selalu memperhitungkan terjadi konflik, namun demikian islam telah meletakkan
dasar untuk tidak berada dalam posisi pemrakarsa meletusnya perang. Perang
dalam hal ini merupakan letak mempertahankan diri atau sebagai tindakan
balasan.
Perang dalam rangka memperingati serangan musuh di dalam islam
memperoleh pengakuan yang sah secara hukum, dan termasuk dalam kategori jihad.
Meskipun jihad dalam bentuk perang didalam mempertahankan diri atau tindakan
balasan. Juga terbatas di dalam rangka menaklukan lawan bukan untuk
membinasakan dalam arti pembantaian atau pemusnahan. Oleh karena itu, mereka
yang menyerah, tertawan, para wanita, orang tua, dan anak-anak, orang-orang
cacat, tempat-tempat ibadah dan sarana serta prasarana ekologi rakyat secara
umum harus dilindungi.
3.
siasah
maaliyah
Siasah maaliyah merupakan politik yang mengatur system ekonomi
dalam islam. Politik ekonomi islam yang menjamin terpenuhinya kebutuhan primer
setiap rakyat dan tercukupinya kebutuhan pelengkap sesuai kadar kemampuanya.
Untuk itu, semua kebijakan ekonomi Islam harus diarahkan untuk menjamin
terpenuhinya kebutuhan asasi dan terpenuhinya kebutuhan pelengkap pada setiap
orang yang hidup dalam Negara Islam, sesuai dengan syariat Islam. Karena income
Negara untuk terealisasinya pemenuhan kebutuhan ekonomi Negara melalui zakat,
kharraj, jizyah, dan denda serta segala bentuk incame yang sesuai dengan
syari’at Islam.[6]
2.3. Fungsi Politik
Tidak ada satu pun di dunia ini yang tak terlepas dari kepentingan
politik. Politik, sebagaimana yang diutarakan oleh Aristoteles merupakan cara
untuk bertujuan untuk menghantarkan manusia untuk mencapai taraf hidup yang
lebih baik. Pernyataan sederhana Aristoteles ini sebenarnya sangat sejalan
dengan ajaran Islam yang memandang politik sebagai upaya untuk memperbaiki
rakyat dengan mengarahkan mereka kepada jalan selamat di kehidupan dunia maupun
akhirat.
Fungsi politik dalam Islam bukanlah
segala macam cara untuk memperoleh kekuasaan, tetapi bagaimana mengatur segala
urusan rakyat dengan menyeluruh dan tuntas. Untuk mencapai itu semua, berbagai
penjelasan di dalam Al-Qur’an telah mengarahkan para politikus agar fungsi
politik dapat maksimal. Penjelasan-penjelasan tersebut dapat dilihat dari
poin-poin berikut ini:
- Kekuasaan sebagai amanah
Prinsip amanah ini tercantum dalam
surat An-Nisa ayat 58:
*
¨bÎ)
©!$#
öNä.ããBù't
br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$#
#n<Î)
$ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/
Ĩ$¨Z9$#
br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/
4 ¨bÎ)
©!$#
$KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/
3 ¨bÎ)
©!$#
tb%x. $JèÏÿx
#ZÅÁt/
ÇÎÑÈ
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat” (An-Nisa: 58)
Di dalam ayat ini Allah Swt telah mendiktekan kepada para pemimpin
yang dipercaya memegang kekuasaan untuk berlaku amanah terhadap kepercayaan
yang telah diberikan. Sebab para pemimpin yang telah diberi tanggung jawab
untuk memimpin rakyatnya, memiliki kewajiban untuk membawa rakyatnya menuju
jalan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat.
Imam Al-Qurthubiy dalam Tafsir
Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an menyatakan, seorang pemimpin harus menjalankan amanat yang telah dibebankan kepadanya dengan
tidak melakukan kezaliman, adil dalam menegakan hukum, serta cerdas dalam
mengelola keuangan Negara.[7]
Bahkan lebih jauh, Al-Qurthubiy mengatakan bahwa untuk menjalankan amanat
merupakan inti dari setiap aturan-aturan yang harus dijalani. Itu artinya,
betapa fundamental aspek amanat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.[8]
- Musyawarah
Prinsip ini sangat erat sekali dalam
sejarah perpolitikan di dunia Islam. Hal itu dapat terlihat dari pengangkatan
Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah setelah Rasulullah Saw wafat. Itu pula
yang dilakukan ketika pengangkatan Umar bin Khattab menjadi khalifah setelah
Abu bakar, begitu pula khalifah-khalifah setelahnya. Melalui musyawarah ini,
potensi hegemoni dari pihak kuat terhadap pihak yang lemah menjadi tereliminir.
Prinsip musyawarah sendiri dalam Al-Qur’an tercantum jelas dalam surat Ali
Imran ayat 159:
$yJÎ6sù
7pyJômu
z`ÏiB «!$#
|MZÏ9 öNßgs9
( öqs9ur
|MYä. $àsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$#
(#qÒxÿR]w
ô`ÏB
y7Ï9öqym
( ß#ôã$$sù
öNåk÷]tã
öÏÿøótGó$#ur
öNçlm;
öNèdöÍr$x©ur Îû ÍöDF{$#
( #sÎ*sù |MøBztã
ö@©.uqtGsù
n?tã «!$#
4 ¨bÎ)
©!$#
=Ïtä
tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$#
ÇÊÎÒÈ
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali Imran: 159)
Dalam ayat ini, Al-Qurthbiy, menukil
perkataan Ibnu Juaiz Mandad mengatakan bahwa musyawarah dilakukan oleh para
pemangku kebijakan terhadap para ahli terhadap hal yang tak diketahui, termasuk
urusan agama. Musyawarah juga dilakukan oleh para tentara ketika menghadapi
peperangan, oleh para rakyat untuk mencapai kemaslahatan bersama, serta para
sekretaris Negara, menteri-menteri, dan para pelaksana undang-undang untuk
kemaslahatan suatu negeri dan rakyatnya.[9]
- Keadilan Sosial
Salah satu fungsi politik yang tak
kalah pentingnya ialah tercapainya keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan
keadailan yang harus diterapkan kepada siapa saja, tak mengenal ras, suku,
maupun agama untuk menegakkan keadilan tersebut. Di dalam Al-Qur’an, konsep
keadilan ini dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 8:
$pkr'¯»t
úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä
(#qçRqä.
úüÏBº§qs%
¬!
uä!#ypkà
ÅÝó¡É)ø9$$Î/
( wur
öNà6¨ZtBÌôft
ãb$t«oYx© BQöqs%
#n?tã
wr&
(#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd
Ü>tø%r&
3uqø)G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$#
4 cÎ)
©!$#
7Î6yz $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
“Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(Al-Maidah: 8)
Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa
untuk berbuat adil tidak hanya ditujukan kepada teman saja, tetapi untuk musuh
sekalipun harus diperlakukan dengan adil. Hal ini dikarenakan perbuatan yang
adil merupakan jalan untuk mencapai ketaqwaan di sisi Allah Swt.[10]
Perbuatan adil yang tidak memihak kepada siapa pun memang perbuatan yang sangat
sulit dilakukan. Untuk itu ganjaran bagi siapa yang dapat berbuat adil adalah
mendapatkan pangkat ketaqwaan di sisi Allah Swt. Begitu pula dalam berpolitik,
politik yang adil adalah politik yang tidak memihak kepada satu golongan
tertentu, baik ras, warna kulit, maupun agama.
- Pengakuan dan perlindungan terhadap HAM
Sebagai salah satu instrumen
kehidupan manusia, hak asasi merupakan sesuatu yang harus diakui dan
dilindungi. Manusia, secara fitrah telah memiliki hak yang harus dilindungi
semenjak mereka lahir, bahkan ketika masih di dalam kandungan sekalipun. Konsep
hak-hak yang harus dijamin keberadaannya dijelaskan pula di dalam Al-Qur’an
surat Al-Isra ayat 70:
*
ôs)s9ur
$oYøB§x. ûÓÍ_t/
tPy#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur
Nßg»oYø%yuur
ÆÏiB ÏM»t7Íh©Ü9$# óOßg»uZù=Òsùur 4n?tã
9ÏV2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxÅÒøÿs? ÇÐÉÈ
“Dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan.” (Al-Isra: 70)
Dalam ayat ini, Ibnu Katsir menjelaskan bagaimana Allah Swt telah
memuliakan keturunan bani adam dan menyempurnakan penciptaannya. Manusia telah
diberikan kelebihan untuk dpaat berjalan dengan kedua kakinya, dan makan dengan
menggunakan tangannya. Manusia dibedakan dengan binatang yang berjalan dengan
keempat kaki, dan makan dengan mulutnya secara langsung. Manusia telah
diberikan potensi yang sangat besar berupa pendengaran, penglihatan dan hati
nurani untuk merenungkan perkara-perkara duniawi dan ukhrawi.[11]
Potensi-potensi itulah yang
merupakan hak asasi yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt. Hak asasi tersebut
merupakan hak-hak dasar manusia yang harus dilindungi keberadaannya dengan
sistem politik yang ada. Sistem politik dan pelaksananya harus mengakui dan melindungi
setiap hak asasi manusia.
- Tercapainya kesejahteraan masyarakat
Politik merupakan jalan untuk
mencapai kesejahteraan, dan kesejahteraan tersebut merupakan seuatu hal yang
harus dicapai oleh visi dan misi politik. Kesejahteraan dalam Islam adalah kesejahteraan
yang tidak hanya mencakup kesejahteraan lahir saja, tetapi juga batin untuk
mencapai ridha Allah Swt. Agama tidak hanya mementingkan sisi spiritual,
seperti halnya ajaran Islam yang berusaha untuk memerangi kemiskinan. Untuk
itu, politik sebagai salah satu prasaran untuk mencapai kesejahteraan tersebut
harus bergandengan dengan aspek spritiual dan peduli akan persoalan ketimpangan
sosial.
2.4. Hikmah Politik
Politik, sebagaimana dijelaskan sebelumnya memiliki aspek yang
membawa kehidupan manusia menjadi lebih baik. Secara terperinci, Sayyid Qutub
menyebutkan keadilan social yang bisa dipetik dari hikmah berpolitik adalah:
A.
kebebasan rohaniah yang
mutlak. Kebebasan rohani di dalam islam didasarkan kepada kebebasan rohani
manusia dari tidak beribadah kecuali kepada Allah dan kebebasan untuk tidak
tunduk kecuali kepada Allah, tidak ada yang kuasa kecuali Allah. Apabila tuhan
hanya Allah semata, maka segala sesuatu diarahkan kepada-Nya, tidak ada ibadah
kecuali untuk Allah, dan manusia tidak dapat menuhankan yang lainnya, termasuk
menuhankan manusia. dengan keyakinan akan sifat-sifat tuhan yang Maha Adil,
Mahakasih Sayang, Pengampun, Penolong, dan sebagainya yang apabila diterapkan
didalam kehidupan bermasyarakat akan menimbulkan keadilan sosial.
B.
persamaan kemanusiaan
yang sempurna. Prinsip-prinsip persamaan didalam islam didasarkan kepada
kesatuan jenis manusia di dalam hak dan kewajibannya di hadapan undang-undang,
di hadapan Allah, di dunia dan di akhirat. Persamaan ini didasarkan atas
kemanusiaan yang mulia, bahkan persamaan yang berdasarkan kemanusiaan ini juga
berlaku bagi yang non-muslim.
C.
tanggung jawab sosial
yang kokoh. Islam menggariskan tanggung jawab ini didalam segala bentuknya. Ada
tanggung jawab di antara individu terhadap dirinya, dan ada tanggung jawab di
antara individu terhadap keluarganya, famili dan kaum kerabatnya, bangsanya dan
bangsa-bangsa lainnya serta tanggung jawab terhadap generasi yang akan datang.[12]
BAB
III
3.1. Kesimpulan
Politik merupakan
cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat
undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan
bagi kepentingan manusia, dalam kamus bahasa arab politik terambil dari kata sasa-yasusu
yang biasa diartikan mengemudi, mengatur, mengendalikan, dan sebagainya.
Namun didalam Al-qur’an tidak ditemukan kata tersebut, akan tetapi bila
berpijak dari makna esensinya term politik bisa menggunakan hukm atau hikmat
yang artinya kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga
mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat.
Daftar
Pustaka
Fauzan,
Islam dan Kemodernan Politik berbasis
Pemuda, (Tangerang: Binamuda, 2008)
M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran,
(Mizan: Bandung, 1996)
KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa FIQIH
SOSIAL, (Yogyakarta: LKiS, cet I 1994)
Abi
Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Al-Qurthubiy, Al-Jami’ li Ahkamil
Qur’an, (Beirut: Ar-Risālah, 2006), jilid 6
Ibnu
Katsir Ad-Damasyqiy, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, (Beirut: Darul Kutub
‘Ilmiah, 1998), Juz 3
H.
A. Djazuli, “Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu
Syariah.” (jakarta: kencana, 2003).
[1] Fauzan, Islam dan Kemodernan Politik berbasis Pemuda, (Tangerang: Binamuda,
2008), hal: 5
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran, (Mizan: Bandung, 1996), hal: 416
[3] KH. MA. Sahal Mahfudh,
Nuansa FIQIH SOSIAL, LKiS, cet I 1994, Yogyakarta. Hal : 209-210
[4] M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran, hal: 417
[5] M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran, hal: 420
[6] http://www.scribd.com/doc/59945469/Makalah-Agama-Islam
[7] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Al-Qurthubiy, Al-Jami’
li Ahkamil Qur’an, (Beirut: Ar-Risālah, 2006), jilid 6, hal. 424
[8] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Al-Qurthubiy, Al-Jami’
li Ahkamil Qur’an, jilid 6, hal. 423
[9] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Al-Qurthubiy, Al-Jami’
li Ahkamil Qur’an, jilid 5, hal. 380.
[10] Ibnu Katsir Ad-Damasyqiy, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, (Beirut:
Darul Kutub ‘Ilmiah, 1998), Juz 3, hal. 56.
[11] Ibnu Katsir Ad-Damasyqiy, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Juz 5,
hal. 89
[12] H. A. Djazuli, “Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam
Rambu-Rambu Syariah.” (jakarta: kencana, 2003). Hlm, 26
0 komentar:
Posting Komentar