Jumat, 23 Mei 2014

Politik dalam Perspektif Al-Quran

Oleh: M. Fikri Yudin, Sirojul Mubarak
BAB I
1.1. Latar Belakang Penulisan
Islam merupaka agama rahmatan lil ‘alamin. Ajaran Islam tidak hanya mencakup hubungan vertical antara Tuhan dengan hamba-Nya, akan tetapi Islam juga telah mengatur hubungan horizontal antar sesama makhluk. Hubungan horizontal atau yang lebih dikenal dengan sebutan hablum minannas merupakan bentuk interaksi antar sesame manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, atau dengan makhluk lainnya.
Di dalam kajian Islam yang memiliki sumber primer Al-Qur’an dan Al-Hadits, hubungan tersebut telah diatur sedemikian rupa agar terbentuk pola komunikasi dan interaksi yang harmonis antar-sesama makhluk. Setiap peraturan yang ada, terus disesuaikan dengan dinamika kehidupan manusia yang semakin berkembang. Meski demikian, praktik ideal dari setiap peraturan yang dibuat harus berlandaskan nilai-nilai yang terkandung di dalam Al-Qur’an.
Dalam makalah ini, akan lebih spesifik dibahas mengenai politik dalam pandangan Al-Qur’an. Politik merupakan salah satu pola interaksi horizontal yang tidak terlepas dari pola vertical. Pola ini disusun sebagai sebuah system yang berfungsi untuk mengatur kehidupan manusia. Aristoteles bahkan menilai politik sebagai sebuah jalan untuk mencapai kebahagiaan.
Pembahasan politik berdasarkan ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an dirasa perlu. Hal ini dikarenakan telah banyak penyimpangan yang dilakukan oleh para elit politik dalam menggunakan kekuasaannya di panggung politik. Untuk itu, makalah ini coba dihadirkan untuk membenahi nilai-nilai politik berdasarkan Al-Qur’an.
1.2. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah kajian mengenai wawasan politik berdasarkan Al-Qur’an, maka dibutuhkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah pengertian politik?
2.      Bagaimanakah macam-macam politik?
3.      Bagaimanakah fungsi politik?
4.      Bagaimanakah hikmah politik?
1.3. Tujuan Penulisan
Sealur dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini ialah:
1.      Mendeskripsikan pengertian politik
2.      Mendeskripsikan macam-macam politik
3.      Mendeskripsikan fungsi politik
4.      Mendeskripsikan hikmah politik


BAB II
2.1. Pengertian Politik
Politik merupakan cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia.[1] Mengacu pada persoalan tersebut, Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau latin politicos atau politicus yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai “segala urusan dan tindakan (kebajian, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan Negara atau terhadap Negara lain.” Juga dalam arti “kebajikan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah).”[2]
Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman, kutu, atau rusak.
Pengertian politik dalam fiqih Islam menurut ulama Hanbali, adalah sikap, perilaku dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada kemaslahatan, sekaligus menjauhkan dari kemafsadahan, meskipun belum pernah ditentukan oleh Rasulullah. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian lain, yaitu mendorong kemaslahatan makhluk dengan memberikan petunjuk dan jalan yang menyelamatkan meraka di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah mengatakan, politik harus sesuai dengan syari’at Islam, yaitu setiap upaya, sikap dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari’at.[3]
Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kata yang berbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti Al-Quran tidak menguraikan sol politik. Sekian banyak ulama Al-Qur’an yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan Al-Qur’an dan sunah Nabi sebagai rujukan. Bahkan Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan As-Siyasah Asy-Syar’iyah (politik keagamaan).
Uraian Al-Qur’an tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar hukm. Kata ini pada mulanya berarti “menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan”. Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais-siyasat, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.
Hukm dalam bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata “hokum” dalam  bahasa Indonesia yang oleh kamus dinyatakan antara lain berarti “putusan”. Dalam bahasa Arab kata ini berbentuk kata jadian, yang bisa mengandung berbagai makna, bukan hanya bisa digunakan dala arti “pelaku hukum” atau diperlakukan atasnya hukum, tetapi juga ia dapat berate perbuatan dan sifat. Sebagai “perbuatan” kata hukm berarti membuat atau menjalankan putusan, dan sebagai sifat yang menunjuk kepada sesuatu yang diputuskan. Kata tersebut jika dipahami sebagai “membuat atau menjalankan keputusan”, maka tentu pembuatan dan upaya menjalankan itu ,baru dapat tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya berlaku hukum tersebut. Ini menghasilkan upaya politik.[4]
Kata siyasat sebagaimana dikemukakan diatas diartikan dengan politik dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat.
Di sisi lain terdapat persamaan makna antara pengertian kata hikmat dan politik. Sementara ulama mengartikan hikmat sebagai kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat. Pengertian sejalan dengan makna kedua yang dikemukaka Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti politik, sebagaimana dikutip diatas.
Dalam Al-Qur’anditemukan dua puluh kali kata hikmah, kesemuanya dalam konteks pujian. Salah satu diantaranya adalah surat Al-Baqarah (2):269:
وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْراً كَثِيراً
“Siapa yang dianugerahi hikmah, maka dia telah dianugerahi kebajikan yang banyak”                 
Wawasan Politik dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an ditemukan sekian banyak ayat yang berbicara tentang hukm (arab). Pengamatan sepintas, boleh jadi menghantarkan orang yang berkata, bahwa ada ayat Al-Qur’an yang secara tegas mengkhususkannya hanya kepada dan bersumber dari Allah yakni ayat yang menyatakan,
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS Al-An’am[6]:57).
Kelompok Khawarij yang tidak menyetujui kebijaksanaan khalifah keempat Ali bin Abi Thalib pernah mengangkat slogan yang bunyinya sama dengan redaksi penggalan ayat tersebut, tetapi ditanggapi oleh Ali r.a. dengan berkata,
كلمة حق أريد بها باطل
Kalimat yang benar, tetapi yang dimaksudkan adalah batil.
Memang ada empat ayat yang menggunakan redaksi tersebut, tetapi ada dua hal  yang harus digarisbawahi dalam hubungan ini.
Pertama, keempat ayat yang menggunakan redaksi tersebut dikemukakan dalam konteks tertentu. Perhatikan ayat-ayat berikut:
قُلْ إِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَعْبُدَ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ قُل لاَّ أَتَّبِعُ أَهْوَاءكُمْ قَدْ ضَلَلْتُ إِذاً وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ -٥٦- قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّي وَكَذَّبْتُم بِهِ مَا عِندِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ -٥٧-
Katakanlah, “Sesungguhnya aku dilarang menyembah apa-apa yang kamu sembah selain Allah”. Katakanlah, “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu. Sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk”. Katakanlah, “Sesungguhnya aku berada diatas bukti yang nyata (Al-Qur’an). Bukanlah wewenangku untuk menurunkan azab yang kamu tuntut disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi Keputusan yang baik” (QS Al-An’am [6]: 56-57).
Ayat ini seperti terbaca berbicara dalam konteks ibadah serta keputusan menjatuhkan sanksi hukum yang berkaitan dengan wewenang Allah.
Dalam surat Yusuf (12): 40, dan 67 redaksi serupa juga ditemukan . Ayat 40 berbicara dalam konteks mengesakan Allah dalam ibadah:
Menetapkan hukum adalah hak Allah, Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.
Sedangkan ayat 67 berbicara tentang kewajiban berusaha dan keterlibatan takdir Allah.
وَقَالَ يَا بَنِيَّ لاَ تَدْخُلُواْ مِن بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُواْ مِنْ أَبْوَابٍ مُّتَفَرِّقَةٍ وَمَا أُغْنِي عَنكُم مِّنَ اللّهِ مِن شَيْءٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ -٦٧-
Wahai anak-anakku, jangan masuk dalam satu pintu gerbang, tetapi masuklah dari pintu gerbang yang berlain-lainan. Namun demikian aku tidak dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari takdir Allah. Keputusan yang menetapkan sesuatu hanyalah hak Allah. Kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri.
Ayat keempat dan terakhir menggunakan redaksi yang sedikit berbeda, yang terdapat dalam surat Al-An’am (6): 62,
ثُمَّ رُدُّواْ إِلَى اللّهِ مَوْلاَهُمُ الْحَقِّ أَلاَ لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ -٦٢-
Kemudian (setelah kematian) mereka dikembalikan kepada (putusan) Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya . Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) hanya milik-Nya saja. Dialah pembuat perhitungan yang paling cepat.
Sebagaimana terbaca, ayat ini berbicara tentang tentang ketetapan hukum yang sepenuhnya berada ditangan Allah sendiri pada hari kiamat.
Di sisi lain, ditemukan sekian banyak ayat yang menisbahkan hukum pada manusia, baik dalam kedudukannya sebagai nabi maupun manusia biasa, Perhatian firman Allah dalam dalam surat Al-Baqarah (2):213 yang berbicara tentang diutusnya para nabi, dan diturunkannya kitab suci kepada mereka dengan tujuan-menurut redaksi Al-Qur’an:
ليحكم بين الناس فيما اختلفوا فيه
Agar masing-masing Nabi memberi keputusan tentang perselisihan antar manusia.
Di samping perintah kepada Nabi-nabi, ada juga perintah yang ditujukan kepada seluruh manusia yang berbunyi:
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً -٥٨-
Dan apabila kamu berhukum (menjatuhkan putusan) diantara manusia, maka hendaklah kamu memutuskan dengan adil (QS An-Nisa’[4]:58).
Kedua, kalaupun ayat-ayat yang berbicara tentang kekhusuan Allah dalam menetapkan hukum atau kebijaksanaan, dipahami terlepas dari konteksnya, maka kekhusuan tersebut bersifat relatif, atau apa yang diistilahkan oleh ulama-ulama Al-Qur’an dengan hasr idhafi. Dengan memperhatikan keseluruhan ayat-ayat yang berbicara tentang pengembalian keputusan, dapat disimpulkan bahwa Allah telah memberi wewenang kepada manusia untuk menetapkan kebijaksanaan atas dasar pelimpahan dari Allah Swt., dan karena itu manusia yang baik adalah yang memperhatikan kehendak pemberi wewenang itu.[5]
2.2. Macam-Macam Politik
Politik Islam secara umum terbagi menjadi tiga macam:
1.      Siasah Dusturiah
Siasah Dusturiah merupakan segala bentuk tata ukuran atau teori-teori tentang politik tata Negara dalam Islam atau yang membahas masalah perundang-undangan Negara agar sejalan dengan dengan nilai-nilai Syari’at. Artinya undang-undang itu mengacu terhadap konstitusinya yang tercermin dalam prinsip-prinsip Islam dalam hukum-hukum syariat yang disebut dalam al-qur’an dan sunah Nabi, baik mengenai akidah, ibadah, akhlak, muamalah, maupun berbagai macam hubungan yang lain.
Prinsip-prinsip yang diletakkan dalam perumusan undang-udang dasar adalah jaminan atas hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di mata hukum tanpa membeda-bedakan strifikasi social, kekayaan, pendidikan, dan agama sehingga tujuan dibuatnya peraturan perundang-undangan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebagai suatu petunjuk bagi manusia, Al-Qur’an menyediakan suatu dasar yang kukuh dan tidak berubah bagi manusia prinsip-prinsip etik dan moral yang perlu bagi kehidupan ini.
2.      siasah dauliyah
            Siasah dauliah merupakan segala bentuk tata ukuran atau teori-teori tentang system hukum internasional dan hubungan antar bangsa. Pada awalnya Islam hanya memperkenalkan satu system kekuasaan dibawah risalah Nabi Muhammad SAW dan berkembang menjadi system khilafah atau kekhilafahan.
Dalam system ini dunia internasional, dipisah dalam tiga kelompok kenegaraan, yaitu;
a.       Darussalam, yaitu Negara yang ditegakkan atas dasar syariat Islam dalam kehidupan.
b.      Darul-Harbi, yaitu Negara non islam yang kehadirannya mengancam kekuasaan Negara-negara Islam serta menganggap musuh terhadap warga negaranya yang menganut Islam
c.       Darul-sulh, yaitu Negara non Islam yang menjalin persahabatan dengan Negara-negara Islam, yang eksistensinya melindungi warga Negara yang menganut agama Islam
Antara Darussalam dan darul sulh terdapat persepsi yang sama tentang batas kedaulatannya, untuk saling menghormati dan bahkan menjalin kerja sama dengan dunia internasional. Keduanya saling terkait oleh konveksi untuk saling menyerang dan hidup bertetangga secara damai, sementara hubungan antara darus-salam dengan darul-harb selalu diwarnai sejarah hitam. Masing-masing selalu memperhitungkan terjadi konflik, namun demikian islam telah meletakkan dasar untuk tidak berada dalam posisi pemrakarsa meletusnya perang. Perang dalam hal ini merupakan letak mempertahankan diri atau sebagai tindakan balasan.
Perang dalam rangka memperingati serangan musuh di dalam islam memperoleh pengakuan yang sah secara hukum, dan termasuk dalam kategori jihad. Meskipun jihad dalam bentuk perang didalam mempertahankan diri atau tindakan balasan. Juga terbatas di dalam rangka menaklukan lawan bukan untuk membinasakan dalam arti pembantaian atau pemusnahan. Oleh karena itu, mereka yang menyerah, tertawan, para wanita, orang tua, dan anak-anak, orang-orang cacat, tempat-tempat ibadah dan sarana serta prasarana ekologi rakyat secara umum harus dilindungi.
3.      siasah maaliyah
Siasah maaliyah merupakan politik yang mengatur system ekonomi dalam islam. Politik ekonomi islam yang menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap rakyat dan tercukupinya kebutuhan pelengkap sesuai kadar kemampuanya. Untuk itu, semua kebijakan ekonomi Islam harus diarahkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan asasi dan terpenuhinya kebutuhan pelengkap pada setiap orang yang hidup dalam Negara Islam, sesuai dengan syariat Islam. Karena income Negara untuk terealisasinya pemenuhan kebutuhan ekonomi Negara melalui zakat, kharraj, jizyah, dan denda serta segala bentuk incame yang sesuai dengan syari’at Islam.[6]
2.3. Fungsi Politik
Tidak ada satu pun di dunia ini yang tak terlepas dari kepentingan politik. Politik, sebagaimana yang diutarakan oleh Aristoteles merupakan cara untuk bertujuan untuk menghantarkan manusia untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Pernyataan sederhana Aristoteles ini sebenarnya sangat sejalan dengan ajaran Islam yang memandang politik sebagai upaya untuk memperbaiki rakyat dengan mengarahkan mereka kepada jalan selamat di kehidupan dunia maupun akhirat.
Fungsi politik dalam Islam bukanlah segala macam cara untuk memperoleh kekuasaan, tetapi bagaimana mengatur segala urusan rakyat dengan menyeluruh dan tuntas. Untuk mencapai itu semua, berbagai penjelasan di dalam Al-Qur’an telah mengarahkan para politikus agar fungsi politik dapat maksimal. Penjelasan-penjelasan tersebut dapat dilihat dari poin-poin berikut ini:
  1. Kekuasaan sebagai amanah
Prinsip amanah ini tercantum dalam surat An-Nisa ayat 58:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat” (An-Nisa: 58)
Di dalam ayat ini Allah Swt telah mendiktekan kepada para pemimpin yang dipercaya memegang kekuasaan untuk berlaku amanah terhadap kepercayaan yang telah diberikan. Sebab para pemimpin yang telah diberi tanggung jawab untuk memimpin rakyatnya, memiliki kewajiban untuk membawa rakyatnya menuju jalan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat.
Imam Al-Qurthubiy dalam Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an menyatakan, seorang pemimpin harus menjalankan  amanat yang telah dibebankan kepadanya dengan tidak melakukan kezaliman, adil dalam menegakan hukum, serta cerdas dalam mengelola keuangan Negara.[7] Bahkan lebih jauh, Al-Qurthubiy mengatakan bahwa untuk menjalankan amanat merupakan inti dari setiap aturan-aturan yang harus dijalani. Itu artinya, betapa fundamental aspek amanat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.[8]
  1. Musyawarah
Prinsip ini sangat erat sekali dalam sejarah perpolitikan di dunia Islam. Hal itu dapat terlihat dari pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi khalifah setelah Rasulullah Saw wafat. Itu pula yang dilakukan ketika pengangkatan Umar bin Khattab menjadi khalifah setelah Abu bakar, begitu pula khalifah-khalifah setelahnya. Melalui musyawarah ini, potensi hegemoni dari pihak kuat terhadap pihak yang lemah menjadi tereliminir. Prinsip musyawarah sendiri dalam Al-Qur’an tercantum jelas dalam surat Ali Imran ayat 159:
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 ( öqs9ur |MYä. $ˆàsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ͐öDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ  
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Ali Imran: 159)
Dalam ayat ini, Al-Qurthbiy, menukil perkataan Ibnu Juaiz Mandad mengatakan bahwa musyawarah dilakukan oleh para pemangku kebijakan terhadap para ahli terhadap hal yang tak diketahui, termasuk urusan agama. Musyawarah juga dilakukan oleh para tentara ketika menghadapi peperangan, oleh para rakyat untuk mencapai kemaslahatan bersama, serta para sekretaris Negara, menteri-menteri, dan para pelaksana undang-undang untuk kemaslahatan suatu negeri dan rakyatnya.[9]
  1. Keadilan Sosial
Salah satu fungsi politik yang tak kalah pentingnya ialah tercapainya keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan keadailan yang harus diterapkan kepada siapa saja, tak mengenal ras, suku, maupun agama untuk menegakkan keadilan tersebut. Di dalam Al-Qur’an, konsep keadilan ini dijelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 8:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ  
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Maidah: 8)
Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa untuk berbuat adil tidak hanya ditujukan kepada teman saja, tetapi untuk musuh sekalipun harus diperlakukan dengan adil. Hal ini dikarenakan perbuatan yang adil merupakan jalan untuk mencapai ketaqwaan di sisi Allah Swt.[10] Perbuatan adil yang tidak memihak kepada siapa pun memang perbuatan yang sangat sulit dilakukan. Untuk itu ganjaran bagi siapa yang dapat berbuat adil adalah mendapatkan pangkat ketaqwaan di sisi Allah Swt. Begitu pula dalam berpolitik, politik yang adil adalah politik yang tidak memihak kepada satu golongan tertentu, baik ras, warna kulit, maupun agama.
  1. Pengakuan dan perlindungan terhadap HAM
Sebagai salah satu instrumen kehidupan manusia, hak asasi merupakan sesuatu yang harus diakui dan dilindungi. Manusia, secara fitrah telah memiliki hak yang harus dilindungi semenjak mereka lahir, bahkan ketika masih di dalam kandungan sekalipun. Konsep hak-hak yang harus dijamin keberadaannya dijelaskan pula di dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70:
* ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs? ÇÐÉÈ  
“Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Al-Isra: 70)
Dalam ayat ini, Ibnu Katsir menjelaskan bagaimana Allah Swt telah memuliakan keturunan bani adam dan menyempurnakan penciptaannya. Manusia telah diberikan kelebihan untuk dpaat berjalan dengan kedua kakinya, dan makan dengan menggunakan tangannya. Manusia dibedakan dengan binatang yang berjalan dengan keempat kaki, dan makan dengan mulutnya secara langsung. Manusia telah diberikan potensi yang sangat besar berupa pendengaran, penglihatan dan hati nurani untuk merenungkan perkara-perkara duniawi dan ukhrawi.[11]
Potensi-potensi itulah yang merupakan hak asasi yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt. Hak asasi tersebut merupakan hak-hak dasar manusia yang harus dilindungi keberadaannya dengan sistem politik yang ada. Sistem politik dan pelaksananya harus mengakui dan melindungi setiap hak asasi manusia.
  1. Tercapainya kesejahteraan masyarakat
Politik merupakan jalan untuk mencapai kesejahteraan, dan kesejahteraan tersebut merupakan seuatu hal yang harus dicapai oleh visi dan misi politik. Kesejahteraan dalam Islam adalah kesejahteraan yang tidak hanya mencakup kesejahteraan lahir saja, tetapi juga batin untuk mencapai ridha Allah Swt. Agama tidak hanya mementingkan sisi spiritual, seperti halnya ajaran Islam yang berusaha untuk memerangi kemiskinan. Untuk itu, politik sebagai salah satu prasaran untuk mencapai kesejahteraan tersebut harus bergandengan dengan aspek spritiual dan peduli akan persoalan ketimpangan sosial.
2.4. Hikmah Politik
Politik, sebagaimana dijelaskan sebelumnya memiliki aspek yang membawa kehidupan manusia menjadi lebih baik. Secara terperinci, Sayyid Qutub menyebutkan keadilan social yang bisa dipetik dari hikmah berpolitik adalah:
A.                kebebasan rohaniah yang mutlak. Kebebasan rohani di dalam islam didasarkan kepada kebebasan rohani manusia dari tidak beribadah kecuali kepada Allah dan kebebasan untuk tidak tunduk kecuali kepada Allah, tidak ada yang kuasa kecuali Allah. Apabila tuhan hanya Allah semata, maka segala sesuatu diarahkan kepada-Nya, tidak ada ibadah kecuali untuk Allah, dan manusia tidak dapat menuhankan yang lainnya, termasuk menuhankan manusia. dengan keyakinan akan sifat-sifat tuhan yang Maha Adil, Mahakasih Sayang, Pengampun, Penolong, dan sebagainya yang apabila diterapkan didalam kehidupan bermasyarakat akan menimbulkan keadilan sosial.
B.                 persamaan kemanusiaan yang sempurna. Prinsip-prinsip persamaan didalam islam didasarkan kepada kesatuan jenis manusia di dalam hak dan kewajibannya di hadapan undang-undang, di hadapan Allah, di dunia dan di akhirat. Persamaan ini  didasarkan atas kemanusiaan yang mulia, bahkan persamaan yang berdasarkan kemanusiaan ini juga berlaku bagi yang non-muslim.
C.                 tanggung jawab sosial yang kokoh. Islam menggariskan tanggung jawab ini didalam segala bentuknya. Ada tanggung jawab di antara individu terhadap dirinya, dan ada tanggung jawab di antara individu terhadap keluarganya, famili dan kaum kerabatnya, bangsanya dan bangsa-bangsa lainnya serta tanggung jawab terhadap generasi yang akan datang.[12]
  
BAB III
3.1. Kesimpulan
            Politik merupakan cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia, dalam kamus bahasa arab politik terambil dari kata sasa-yasusu yang biasa diartikan mengemudi, mengatur, mengendalikan, dan sebagainya. Namun didalam Al-qur’an tidak ditemukan kata tersebut, akan tetapi bila berpijak dari makna esensinya term politik bisa menggunakan hukm atau hikmat yang artinya kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudarat.
           

Daftar Pustaka
Fauzan, Islam dan Kemodernan Politik berbasis Pemuda, (Tangerang: Binamuda, 2008)
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Mizan: Bandung, 1996)
KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa FIQIH SOSIAL, (Yogyakarta: LKiS, cet I 1994)
Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Al-Qurthubiy, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, (Beirut: Ar-Risālah, 2006), jilid 6
Ibnu Katsir Ad-Damasyqiy, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, (Beirut: Darul Kutub ‘Ilmiah, 1998), Juz 3
H. A. Djazuli, “Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah.” (jakarta: kencana, 2003).


[1]  Fauzan, Islam dan Kemodernan Politik berbasis Pemuda, (Tangerang: Binamuda, 2008), hal: 5
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Mizan: Bandung, 1996), hal: 416 
[3]  KH. MA. Sahal Mahfudh, Nuansa FIQIH SOSIAL, LKiS, cet I 1994, Yogyakarta. Hal : 209-210
[4] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, hal: 417
[5] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, hal: 420
[6] http://www.scribd.com/doc/59945469/Makalah-Agama-Islam
[7] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Al-Qurthubiy, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, (Beirut: Ar-Risālah, 2006), jilid 6, hal. 424
[8] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Al-Qurthubiy, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, jilid 6, hal. 423
[9] Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr Al-Qurthubiy, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, jilid 5, hal. 380.
[10] Ibnu Katsir Ad-Damasyqiy, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, (Beirut: Darul Kutub ‘Ilmiah, 1998), Juz 3, hal. 56.
[11] Ibnu Katsir Ad-Damasyqiy, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, Juz 5, hal. 89
[12] H. A. Djazuli, “Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah.” (jakarta: kencana, 2003). Hlm, 26

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com