Oleh: M. Fikri Yudin
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dinamika telah menjadi inti dari
jiwa manusia, sehingga tak dapat dipungkiri lagi bahwa manusia akan selalu
berkembang dari waktu ke waktu, dan tidak akan statis menghadapi kehidupan yang
terus berubah pula. Begitupun dengan kehidupan sosial yang terbentuk dari
susunan masyarakat, mau tidak mau, sadar tidak sadar, akan berjalan searah
dengan pekembangan zaman yang tak akan pernah berhenti pada satu titik.
Dewasa ini banyak wacana yang mengikrarkan tentang kesetaraan
gender yang menuntut emansipasi wanita. Wanita dianggap harus setara dengan
kaum Adam dalam segala hal, bahkan dalam hal yang paling fundamental sekalipun
seperti pembagian harta hak waris. Kesetaraan yang dinginkanpun bukan karena
tanpa alasan yang fundamental pula, meskipun memang bertentangan dengan wacana
keagamaan secara tekstualis.
Ada sebuah ayat
yang memang secara gamblang menerangkan tentang pembagian harta waris antara
perempuan dan pria. Ayat tersebut tertuang dalam surat An-Nisa (4) ayat 11:
"Wahai kaum
mukmin Allah tetapkan kepada kalian tentang bagian harta waris bagi anak- anak kalian, laki-laki mendapatkan
bagian dua kali dari perempuan..."
Dalam ayat ini dijelaskan secara umum bahwa bagian wanita hanya
separuh dari apa yang didapatkan oleh laki-laki dalam hak waris. Namun yang
menjadi perdebatan, apakah pembagian tersebut masih relevan dengan dinamika
kehidupan sosial yang sekarang.
Aktivis gender beranggapan bahwa hal tersebut sudah
tidak sesuai dengan realita kehidupan yang dihadapi saat ini. Prinsip mereka
didasari oleh banyaknya wanita karir saat ini yang menjadi tulang punggung
keluarga, dan hal ini tak terlepas dari dinamika kehidupan sosial yang membuat
kaum Hawa memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing dengan laki-laki dalam
berbagai hal, termasuk urusan karir. Bukankah pembagian hak waris tersebut
didasari karena selama ini laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarga,
sehingga bagian laki-laki dilebihkan karena mereka harus menanggung segala
kesejahteraan keluarga secara finansial.
Namun para aktivis
gender mendapatkan pertentangan yang kuat dari kaum tekstualis. Pandangan
mereka mengenai ayat ini merupakan suatu ayat yang muhkam, ayat yang secara
kasat mata telah dapat disimpulkan hukum yang terdapat di dalamnya, sehingga tidak
membutuhkan alat bantu apapun untuk mengetahui maksud dari ayat tersebut. Mengubah hukum yang terkandung dalam ayat
tersebut merupakan suatu penyimpangan dari syari'at yang telah digariskan.
Pendapat yang dikemukakan oleh kedua belah pihak tidak dapat
disalahkan. Di satu sisi ingin menjunjung tinggi hak emansipasi wanita, dan di
sisi lain ingin mempertahankan keotentikan teks keagamaan tersebut. Namun
sepertinya ada satu hal yang terlewatkan oleh golongan yang kedua ini. Untuk
melakukan penafsiran terhadap teks-teks keagamaan diperlukan metodologi
penafsiran yang memuat dimensi pre teks, teks, dan post teks.
Pre teks
mengharuskan seorang mufassir untuk melihat struktur budaya yang mengharuskan
suatu teks muncul. Teks merupakan objek kajian yang ingin diteliti oleh para mufassir. Sedangkan
post teks adalah kajian mengenai penyesuaian teks yang ada harus disesuaikan
dengan tradisi yang sudah berkembang, sehingga tidak terjadi disintegrasi dalam
mengaplikasikan wacana teks ke dalam realita kehidupan.
Jika menengok ke
masa lalu, Ke masa-masa Jahiliyyah di mana bangsa Arab berada dalam jurang
kenistaan yang amat dalam, Sedangkan wanita tidak diperhatikan sama sekali
bahkan keberadaannya dianggap sebagai aib. Jangankan untuk mendapatkan harta
warisan, agar tidak diwariskanpun rasanya mustahil. Hal ini dikarenakan
kabilah-kabilah Arab yang hidup secara nomaden membutuhkan tenaga yang kuat
agar dapat bersaing dengan kelompok lainnya dalam memperebut maupun
mempertahankan daerah teritorial yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Sehingga wanita dianggap sebagai hama pengganggu yang hanya dapat merepotkan
suatu kabilah karena tidak dapat memberikan kontribusi banyak dalam
mempertahankan kabilah.
Karena pemikiran
dan prilaku primitif inilah, ayat tersebut diturunkan untuk mengangkat derajat
wanita. Dari yang tadinya sebagai barang warisan, menjadi penerima hak warisan
meskipun hanya setengah dari apa yang didapatkan oleh laki-laki. Ayat ini
menjadi angin segar bagi kaum wanita yang telah lama tertindas, namun menjadi
kontrofesi yang amat mendalam bagi mereka yang menolak kesetaraan derajat
dengan kaum Hawa tersebut. Namun lambat laun pertentangan tersebut seakan
lenyap diterpa ombak seiring dengan kemajuan dan perkembangan islam.
Ayat tersebut telah lama dijadikan acuan dalam
pembagian hak waris karena masih relevan dengan realita kehidupan sosial di
kala itu. Laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari apa yang diterima oleh
wanita karena memang laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarga. Karena
hal itu, sehingga laki-laki dianggap berhak mendapatkan lebih karena memiliki
tanggung jawab yang lebih pula untuk menghidupi keluarganya.
Namun bila
dihadapkan dengan dinamika kehidupan sekarang yang sudah jauh berkembang dari
struktur sosial pertama ayat tersebut diturunkan, sehingga esensi pertama ayat
tersebut diturunkan dianggap sudah tidak lagi relevan dengan realita kehidupan
saat ini. Karena realita dinamika saat ini menunjukan bahwa telah banyak wanita
yang menjadi tulang punggung keluarga. Sehingga menjadikan tanggung jawab yang
diemban oleh wanita dan pria sama besarnya. Kesetaraan dalam struktur sosial
inilah yang ingin diangkat oleh para aktivis gender untuk mendapatkan
kesetaraan dan keadilan dalam pembagian harta warisan.
Hal inilah yang terlewatkan
oleh kaum tekstualis. menghubungkan ketiga dimensi dalam menafsirkan suatu teks
keagamaan tidak mereka hiraukan. Yang menurut mereka benar adalah menjalankan
apa yang tertuang dalam teks keagamaan leterlek tanpa melihat rentetan historis
ayat tersebut diturunkan. Sehingga tidak ada celah bagi mereka untuk
"mengotak-atik" teks-teks keagamaan.
Menghubungkan
ketiga dimensi tadi sangatlah penting agar tidak terjadi disintegrasi dalam
mengaplikasikan teks-teks keagamaan dalam realita kehidupan sosial. Karena
tidak mungkin memaksakan diri untuk mengembalikan kehidupan yang sekarang ke
masa lalu, dan mustahil untuk membawa kehidupan di masa lalu ke dalam kehidupan
yang sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar