Jumat, 23 Mei 2014

Hak Waris Menurut Konsep Kesetaraan Gender


Oleh: M. Fikri Yudin
  
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dinamika telah menjadi inti dari jiwa manusia, sehingga tak dapat dipungkiri lagi bahwa manusia akan selalu berkembang dari waktu ke waktu, dan tidak akan statis menghadapi kehidupan yang terus berubah pula. Begitupun dengan kehidupan sosial yang terbentuk dari susunan masyarakat, mau tidak mau, sadar tidak sadar, akan berjalan searah dengan pekembangan zaman yang tak akan pernah berhenti pada satu titik.
            Dewasa ini banyak wacana yang mengikrarkan tentang kesetaraan gender yang menuntut emansipasi wanita. Wanita dianggap harus setara dengan kaum Adam dalam segala hal, bahkan dalam hal yang paling fundamental sekalipun seperti pembagian harta hak waris. Kesetaraan yang dinginkanpun bukan karena tanpa alasan yang fundamental pula, meskipun memang bertentangan dengan wacana keagamaan secara tekstualis.
            Ada sebuah ayat yang memang secara gamblang menerangkan tentang pembagian harta waris antara perempuan dan pria. Ayat tersebut tertuang dalam surat An-Nisa (4) ayat 11:
            "Wahai kaum mukmin Allah tetapkan kepada kalian tentang bagian harta waris bagi            anak- anak kalian, laki-laki mendapatkan bagian dua kali dari perempuan..."
Dalam ayat ini dijelaskan secara umum bahwa bagian wanita hanya separuh dari apa yang didapatkan oleh laki-laki dalam hak waris. Namun yang menjadi perdebatan, apakah pembagian tersebut masih relevan dengan dinamika kehidupan sosial yang sekarang.
            Aktivis  gender beranggapan bahwa hal tersebut sudah tidak sesuai dengan realita kehidupan yang dihadapi saat ini. Prinsip mereka didasari oleh banyaknya wanita karir saat ini yang menjadi tulang punggung keluarga, dan hal ini tak terlepas dari dinamika kehidupan sosial yang membuat kaum Hawa memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing dengan laki-laki dalam berbagai hal, termasuk urusan karir. Bukankah pembagian hak waris tersebut didasari karena selama ini laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarga, sehingga bagian laki-laki dilebihkan karena mereka harus menanggung segala kesejahteraan keluarga secara finansial.
            Namun para aktivis gender mendapatkan pertentangan yang kuat dari kaum tekstualis. Pandangan mereka mengenai ayat ini merupakan suatu ayat yang muhkam, ayat yang secara kasat mata telah dapat disimpulkan hukum yang terdapat di dalamnya, sehingga tidak membutuhkan alat bantu apapun untuk mengetahui maksud dari ayat tersebut.  Mengubah hukum yang terkandung dalam ayat tersebut merupakan suatu penyimpangan dari syari'at yang telah digariskan.  
            Pendapat yang dikemukakan oleh kedua belah pihak tidak dapat disalahkan. Di satu sisi ingin menjunjung tinggi hak emansipasi wanita, dan di sisi lain ingin mempertahankan keotentikan teks keagamaan tersebut. Namun sepertinya ada satu hal yang terlewatkan oleh golongan yang kedua ini. Untuk melakukan penafsiran terhadap teks-teks keagamaan diperlukan metodologi penafsiran yang memuat dimensi pre teks, teks, dan post teks.
            Pre teks mengharuskan seorang mufassir untuk melihat struktur budaya yang mengharuskan suatu teks muncul. Teks merupakan objek kajian yang  ingin diteliti oleh para mufassir. Sedangkan post teks adalah kajian mengenai penyesuaian teks yang ada harus disesuaikan dengan tradisi yang sudah berkembang, sehingga tidak terjadi disintegrasi dalam mengaplikasikan wacana teks ke dalam realita kehidupan.
            Jika menengok ke masa lalu, Ke masa-masa Jahiliyyah di mana bangsa Arab berada dalam jurang kenistaan yang amat dalam, Sedangkan wanita tidak diperhatikan sama sekali bahkan keberadaannya dianggap sebagai aib. Jangankan untuk mendapatkan harta warisan, agar tidak diwariskanpun rasanya mustahil. Hal ini dikarenakan kabilah-kabilah Arab yang hidup secara nomaden membutuhkan tenaga yang kuat agar dapat bersaing dengan kelompok lainnya dalam memperebut maupun mempertahankan daerah teritorial yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga wanita dianggap sebagai hama pengganggu yang hanya dapat merepotkan suatu kabilah karena tidak dapat memberikan kontribusi banyak dalam mempertahankan kabilah.
            Karena pemikiran dan prilaku primitif inilah, ayat tersebut diturunkan untuk mengangkat derajat wanita. Dari yang tadinya sebagai barang warisan, menjadi penerima hak warisan meskipun hanya setengah dari apa yang didapatkan oleh laki-laki. Ayat ini menjadi angin segar bagi kaum wanita yang telah lama tertindas, namun menjadi kontrofesi yang amat mendalam bagi mereka yang menolak kesetaraan derajat dengan kaum Hawa tersebut. Namun lambat laun pertentangan tersebut seakan lenyap diterpa ombak seiring dengan kemajuan dan perkembangan islam.
             Ayat tersebut telah lama dijadikan acuan dalam pembagian hak waris karena masih relevan dengan realita kehidupan sosial di kala itu. Laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari apa yang diterima oleh wanita karena memang laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarga. Karena hal itu, sehingga laki-laki dianggap berhak mendapatkan lebih karena memiliki tanggung jawab yang lebih pula untuk menghidupi keluarganya.
            Namun bila dihadapkan dengan dinamika kehidupan sekarang yang sudah jauh berkembang dari struktur sosial pertama ayat tersebut diturunkan, sehingga esensi pertama ayat tersebut diturunkan dianggap sudah tidak lagi relevan dengan realita kehidupan saat ini. Karena realita dinamika saat ini menunjukan bahwa telah banyak wanita yang menjadi tulang punggung keluarga. Sehingga menjadikan tanggung jawab yang diemban oleh wanita dan pria sama besarnya. Kesetaraan dalam struktur sosial inilah yang ingin diangkat oleh para aktivis gender untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan dalam pembagian harta warisan.
            Hal inilah yang terlewatkan oleh kaum tekstualis. menghubungkan ketiga dimensi dalam menafsirkan suatu teks keagamaan tidak mereka hiraukan. Yang menurut mereka benar adalah menjalankan apa yang tertuang dalam teks keagamaan leterlek tanpa melihat rentetan historis ayat tersebut diturunkan. Sehingga tidak ada celah bagi mereka untuk "mengotak-atik" teks-teks keagamaan.
            Menghubungkan ketiga dimensi tadi sangatlah penting agar tidak terjadi disintegrasi dalam mengaplikasikan teks-teks keagamaan dalam realita kehidupan sosial. Karena tidak mungkin memaksakan diri untuk mengembalikan kehidupan yang sekarang ke masa lalu, dan mustahil untuk membawa kehidupan di masa lalu ke dalam kehidupan yang sekarang.
      

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com