Jumat, 23 Mei 2014

Studi Tokoh Hermeneutik: Edmund Husserl


Oleh: M. Fikri Yudin, Nailu Farh

 BAB I
PENDAHULUAN
   A.    Latar Belakang
Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermenia yang masing-masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”. Istilah tersebut dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam berbagai literatur peninggalan masa Yunani Kuno, seperti Organon karya Aristoteles yang didalamnya terdapat risalah terkenal Peri hermeneuias (tentang penafsiran).[1]
Teori Penafsiran Kitab Suci, merupakan Pengertian tertua, dan mungkin yang paling banyak dipahami oleh banyak orang, adalah hermeneutika sebagai prinsip-prinsip penafsiran kitab suci (principles of biblical interpretation). Ada pembenaran yang bersifat historis terhadap pemahaman ini, karena kata hermeneutika pada era modern memang digunakan untuk mengisi kebutuhan akan panduan dalam penafsiran Kitab Suci. Akan tetapi, hermeneutika bukanlah isi penafsiran, melainkan metodenya. Perbedaan antara penafsiran aktual (exegesis) dan aturan-aturan, metode-metode, dan teori yang mengaturnya (hermeneutika) sudah sejak lama disadari, baik didalam refleksi teologis, dan kemudian didalam refleksi-refleksi non teologis.[2]
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang Hermeneutika E. Husserl yang merupakan salah satu tokoh Filsafat yang tanpa sadar telah memberikan kontribusi kepada Hermeneutika.

   B.     Rumusan Masalah
1.      Biografi Edmund Husserl
2.      Pemikiran Edmund. Husserl terhadap Hermeneutika
    C.    Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan supaya bisa mengetahui apa saja kontribusi salah satu tokoh hermeneutika yang satu ini, E. Husserl.

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Biografi Edmund Husserl
            Edmund Gustav Albrecht Husserl  (lahir di Prostějov (Prossnitz), Moravia, Ceko, 8 April 1859 – meninggal di Freiburg, Jerman, 26 April 1938 pada umur 79 tahun) adalah seorang filsuf Jerman, yang dikenal sebagai “Bapak Fenomenologi. Karyanya meninggalkan orientasi yang murni Positivis dalam Sains dan Filsafat pada masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan kita tentang Fenomena Obyektif. Husserl dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi di Prostějov (Proßnitz), Moravia, Ceko (yang itu merupakan bagian dari Kekaisaran Austria). Husserl adalah murid FranzBrentano dan Carl Stumpf; karya filsafatnya memengaruhi, antara lain, Edith Stein (St.Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice Merleau Ponty, dan Roman Ingarden. Pada 1887 Husserl berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran. Ia mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatdozent) dari 1887, lalu di Göttingen sebagai profesor dari 1901, dan di Freiburg im Breisgau dari 1916 hingga ia pensiun pada 1928. Setelah itu, ia melanjutkan penelitiannay dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga kemudian dilarang menggunakannya - karena ia keturunan Yahudi - yang saat itu dipimpin oleh rektor, dan sebagian karena pengaruh dari bekas muridnya, yang juga anak emasnya, Martin Heidegger.[3]
2.      Karya-Karya Edmund Husserl[4]
·         1887. Über den Begriff der Zahl. Psychologische Analysen.
·         1891. Philosophie der Arithmetik. Psychologische und logische Untersuchungen. [1970, Philosophy of Arithmetic]
·         1900. Logische Untersuchungen. Erste Teil: Prolegomena zur reinen Logik. [1970, Logical Investigations. Vol 1]
·         1901. Logische Untersuchungen. Zweite Teil: Untersuchungen zur Phänomenologie und Theorie der Erkenntnis. [1970, Logical Investigations. Vol 2]
·         1911. Philosophie als strenge Wissenschaft. [1965, included in "Phenomenology and the Crisis of Philosophy: Philosophy as Rigorous Science and Philosophy and the Crisis of European Man"]
·         1913. Ideen zu einer reinen Phänomenologie und phänomenologischen Philosophie. Erstes Buch: Allgemeine Einführung in die reine Phänomenologie. [1931, Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology]
·         1923-24. Erste Philosophie. Zweiter Teil: Theorie der phänomenologischen Reduktion. [1959, First Philosophy, Vol 2: Phenomenological Reductions]
·         1925. Erste Philosophie. Erste Teil: Kritische Ideengeschichte. [1956, First Philosophy Vol 1: Critical History of Ideas]
·         1928. Vorlesungen zur Phänomenologie des inneren Zeitbewusstseins.
·         1929. Formale und transzendentale Logik. Versuch einer Kritik der logischen Vernunft. [1969, Formal and Transcendental Logic]
·         1931. Méditations cartésiennes. [1960, Cartesian Meditations]
·         1936. Die Krisis der europäischen Wissenschaften und die transzentale Phänomenologie: Eine Einleitung in die phänomenologische Philosophie. [1970, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology: An Introduction to Phenomenological Philosophy]
·         1939. Erfahrung und Urteil. Untersuchungen zur Genealogie der Logik. [1973, Experience and Judgment]
·         1952. Ideen II: Phänomenologische Untersuchungen zur Konstitution.
·         1952. Ideen III: Die Phänomenologie und die Fundamente der Wissenschaften.

3.      Pemikiran Edmund Husserl Tentang Hermeneutik[5]
             Beliau disebut-sebut sebagai Bapak Fenomenologi. Sebelum membahas lebih jauh tentang pemikiran beliau kita perlu tahu terlebih dahulu apa itu Fenomenologi.

    1.      Pengertian
            Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani dengan asal suku kata pahainomenon (gejala/fenomena). Adapun studi Fenomenologi bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai pengalaman beserta maknanya. Sedangkan pengertian fenomena dalam Studi Fenomenologi sendiri adalah pengalaman/peristiwa yang masuk ke dalam kesadaran subjek. Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri. “fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita, realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.“Konstitusi” merupakan proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen mengkonstitusidiri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakankonstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran padadirinya lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karenayang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional. Sebagai contoh dari konstitusi: “saya melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang saya lihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, saya melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan seterusnya”. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realitas. Suatu fenomen tidak pernah merupakan suatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia. Sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat Husserl selalu diartikan sebagai “konstitusi genetis”. Proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadireal dalam kesadaran adalah merupakan suatu aspek historis. Husserl juga mengungkapkan tentang reduksi transendental. Reduksi ini harus dilakukan menurut Husserl lebih dikarenakan karena Husserl menginginkan fenomenologi menjadi suatu ilmu rigous. Ilmu rigous tidak boleh mengandung keraguan, atau ketidak pastian apapun juga. Ucapan yang dikemukakan pada ilmurigorous harus bersifat “apodiktis” (tidak mengizinkan keraguan). Suatu benda material tidak pernahdiberikan kepada kita secara apodiktis dan absolut. Setiap benda material selalu diberikan dalam bentuk profil-profil. Misalnya dari sebuah lemari yang ada di hadapan saya, saya hanya dapat melihat depannya saja tanpa dapat mengetahui bentuk depannya, dan ketika saya ingin melihat sisi depannya, maka saya harus melihatnya dari sisi yang lainnya, namun setelah itu saya tidak bisa melihat sisi depan dari profil-profil lain. Dengan cara inilah benda-benda material tampak bagi saya. Setiap benda material tidak pernah diberikan kepada saya menurut segala profil-profilnya, secara total dan absolut. Cara realitas material tampak bagi saya bersikap sedemikian rupa, sehingga tidak dapat ditemukan pernyataan-pernyataanapodiktis dan absolut tentangnya. Karena alasan-alasan itulah fenomenologi sebagai ilmu rigorous harusmulai dengan mempraktekkan “reduksi transendental”.Wawasan utama fenomenologi adalah “pengertian dan penje lasan dari suatu realitas harus dibuahkan darigejala realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Dalam perkembangannya, fenomenologi memang adabeberapa macam, antara lain: (a) fenomenologi Edid etik dalam linguistik, fenomenologi Ingardendalam sastra, artinya pengertian murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan danpemilahan, penyaringan untuk menentukan keberada an, penggambaran gejala (refleksi), fenomenologitransendental, dan (d) fenomenologi eksistnsial.Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara tegas ditekankan. Kesadaran aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap suatu gejala amat penting. Bagihttp://htmlimg2.scribdassets.com/108ju4v3cwtd4sc/images/1-5a9dcc4516.jpg   Fenomenologi Eksitensial, penentuan pengertian dari gejala budaya semata-mata tergantung individu.Refleksi individual menjadi “guru” bagi individu itu sendiri dalam rangka menemukan kebenaran.Metode kualitatif fenomenologi berlandaskan pada empat kebenaran, yaitu kebenaran empirik sensual,kebenaran empirik logik, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik transenden. Atas dasar cara mencapai kebenaran ini, fenomenologi menghendaki kesatuan antara subyek peneliti dengan pendukungobyek penelitian.Keter libatan subyek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami menjadi salah satu ciriutama. Hal tersebut juga seperti dikatakan Moleong (1988:7-8) bahwa pendekatan fenomenologis berusahamemahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.Mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehinggamereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang mereka kembangkan di sekitar peristiwa dalamkehidupannya sehari hari. Makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikam pengalamanmelalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa penger tian pengalaman kitalah yang membentukkenyataan.[6]
    2.      Sejarah Fenomenologi
            Pada masa sebelum ada cara berpikir fenomenologis, cara berpikir manusia dibagi dua kutub yang berlawanan 180 derajat yaitu: Idealisme dan Realisme. Kaum penganut Idealisme menilai benda-benda maupun peristiwa yang terjadi disekitarnya berdasarkan ide-ide yang dikembangkan dalam pikirannya. Kemudian ide-ide ini membentuk semacam “frame of reference” yang secara subjectif dipahami sebagai kebenaran. Dalam memandang dunia sekitarnya seorang idealist akan memakai acuan “frame of reference”yang merupakan ide-ide dalam pikirannya. Oleh karena itu seorang idealist biasanya juga sangat subjectif dalam menilai dunia sekitarnya. Sumbangan idealisme kedunia adalah adanya penemuan-penemuan baru,ide-ide baru, karya besar di bidang sastra, dll. Sedangkan kebalikannya kaum penganut realisme, melihat benda-benda maupun sesuatu peristiwa yang ada sesuai dengan keadaan nyata benda tersebut yangsecara nyata bisa diraba, diukur atau punyai nilai tertentu. Kalau tidak bisa dibuktikan bahwa benda itunyata dan punya nilai atau ukuran tertentu maka benda itu tidak pernah ada. Oleh karena itu penganutrealisme cenderung kepada atheisme yang tidak percaya adanya Tuhan karena Tuhan tidak bisa dilihatsecara nyata. Realisme sangat berpengaruh di Eropa pada masa revolusi industri dan sumbangannyakedunia adalah kemajuan “science & technology”.Pada sekitar awal abad ke 20, walaupun revolusi industri terus bergerak, beberapa filsuf di Eropa seperti Edmund Husserl (1859 - 1938) mulai meragukan kehandalan cara berpikir realisme yang seolah-olah tidak ada satupun dialam ini yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan alam. Apapun yang telah ditemukan, persoalan-persoalan dasar manusia tidak pernah bisa diselesaikan. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan alam. Edmund Hursell memperkenalkan fenomenologi yang belakangan dikembangkan menjadi eksistensialisme.Cara berpikir fenomenologi ditekankan dengan pengamatan terhadap gejala-gejala dari suatu benda. Kalau seorang penganut realisme menilai benda dengan cara melihat bentuk, ukuran dan nilai suatu benda, maka seorang penganut fenomenologi melihat benda dengan gejala-gejala yang muncul dari benda tersebut.Benda itu ada berdasarakan gejala-gejala yang timbul dari benda itu sendiri, kita hanya menangkap gejala-gejala tersebut. Benda tersebut bercerita tentang dirinya dengan memancarkan gejala-gejala, dengan menangkap gejala tersebut kita bisa menangkap esensi benda tersebut. Semua benda punya pancaran gejala-gejalanya sendiri-sendiri, kita akan bisa lebih memahami benda tersebut apabila kita menganggap benda sebagai subjek yang menceritakan diri sendiri melalui gejala-gejala yang memancar darinya. Contohnya: kalau kita melihat kursi, kursi itu sendiri memancarkan gejala-gejala bahwa dia itu kursi bukan meja. Kita hanya perlu menangkap gejala yang muncul dari kursi tersebut kemudian kita tidak akan salah bahwa dari gejala-gejala yang muncul dari kursi itu bahwa kebenarannya dia itu kursi, bukan benda yanglain. Jelas cara berpikir ini adalah cara berpikir yang radikal berbeda dengan cara berpikir idealisme maupun Realisme. Idealisme memahami alam sekitarnya melalui manusia sebagai subject dengan ide-ide pikirannya,benda disimpulkan sepenuhnya tergantung dari ide-ide pikiran. Realisme memahami benda kalau benda itunyata berdasarkan ukuran atau nilai. Sedangkan fenomenologi menganggap object sebagai subject yangbercerita kepada kita melalui gejala-gejala yang timbul darinya.[7]
    3.      Fenomenologi Husserl Terkait Hermeneutik
            Definisi hermeneutika masihlah terus berkembang. Menurut Zygmunt Bauman dalam buku karya Fahrudin Faiz yang berjudul Hermeneutika Al-Qur`an Tema-tema Kontrofersial mendefinisikan hermeneutic secara lebih luas sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar dan pembaca.[8],
            Husserl menyatakan bahwa objek dan makna tidak pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral. Meskipun arti dan makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan maknanya atas dasar situasi objek, semuanya adalah sama saja. Dari sininilah kita lihat keunggulan hermeneutik.
            Mengenai fakta Husserl cenderung menganggapnya sebagai sebuah datum kesadaran. Lain halnya dengan Heidegger yang menganggap fakta keberadaan merupakan persoalan yang masih lebih fundamental kesadaran dan pengetahuan manusia.[9]
            Semua interpretasi mencakup pemahaman. Namun pemahaman itu sangat kompleks di dalam diri manusia sehingga para pemikir ulung maupun psikolog tidak pernah mampu untuk menetapkan kapan seseorang mulai  mengerti. Sebagai contoh misalnya :  kapan seseorang dinyatakan mengetahui adanya bahaya laten? Kapan saatnya seorang anak dinyatakan sudah memahami matematika? Dapatkah kita melihat tepatnya waktu seseorang menangkap arti sebuah kalimat yang diucapkan?
            Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti dan memahami. Namun keadaan ‘lebih dahulu mengerti’ ini bukanlah didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah.  Sebab, menurut kenyataan, bila seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukann interpretasi, dan juga sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi. Keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi menimbulkan ‘lingkaran hermeneutik’
  
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
                        Dalam sumbangsih terhadap Hermeneutika, sebenarnya itu bukan tujuan Husserl. Husserl memiliki dua “alergi” pada pemikirannya yang dapat kita pandang sebagai hermeneutika. Pertama, sebagaimana yang terlihat dalam perdebatannya melawan Dilthey dalam esai Logos (1911), dia menolak kecenderungan historisismennya, sikap meremehkan yang juga dibuktikan oleh perdebatannya yang diam-diam dan amat sengit dengan hermeneutika Heidegger. Kedua, Husserl tidak menganggap fundamental gagasan tentang interpretasi.
Husserl memegang konsepsi yang bersifat Cartesian tentang filsafat sampai akhir hayatnya, meskipun dia tidak pernah mengklaim dirinya telah berhasil membawanya kepada sebuah titik ujung, klaimnya secara pribadi sebenarnya amat sederhana, sebagaimana yang diperhatikan dalam kata penutupi. dia hanya ingin meneguhkan kembali membawanya kepada sebuah titik ujung,klaimnya secara pribadi sebenanrnya sangat amat sederhana, sebagaimana yang diperlihatkan dalam kata penutup Ideen. Dia hanya ingin meneguhkan kembali pusat perhatiannya pada integritas absolute yang mempresentasikan gagasan tentang filsafat bagi kemanusiaan.





DAFTAR PUSTAKA
1.      http://kuliahfilsafat.blogspot.com/2009/05/definisi-hermeneutika.html diunduh pada 23 februari 2014. 18:00 WIB.
4.      Faiz Fahrudin . Hermeneutika Al-Qur`an Tema-tema Kontrofersial. Yogyakarta : eLSAQ Press. 2005.cet1. hal. 5
5.      Palmer E.Richard , Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Hermeneutics Interpretation Theory In Schleirmacher, Dilthey,Heidegger, And Gadamer Northwestern University Press, Evanston, 1969. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, cet 2. Hal 143.
6.      B.Saenong Ilham, Hermeneutika Pembebasan Metodologi Penafsiran Menurut Hasan Hanafi, Jakarta Selatan: Teraju, 2002, cet 1, hal 23.




[1] Ilham B.Saenong, Hermeneutika Pembebasan Metodologi Penafsiran Menurut Hasan Hanafi, Jakarta Selatan: Teraju, 2002, cet 1, hal 23.
[7] Ibid.
[8] Fahrudin Faiz. Hermeneutika Al-Qur`an Tema-tema Kontrofersial. Yogyakarta : eLSAQ Press. 2005.cet1. hal. 5
[9] Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Hermeneutics Interpretation Theory In Schleirmacher, Dilthey,Heidegger, And Gadamer Northwestern University Press, Evanston, 1969. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, cet 2. Hal 143.

1 komentar:

luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com