Oleh: M. Fikri Yudin, Nailu Farh
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hermeneutika
berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermenia yang
masing-masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”. Istilah
tersebut dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam berbagai literatur
peninggalan masa Yunani Kuno, seperti Organon karya Aristoteles yang didalamnya
terdapat risalah terkenal Peri hermeneuias (tentang penafsiran).[1]
Teori
Penafsiran Kitab Suci, merupakan Pengertian
tertua, dan mungkin yang paling banyak dipahami oleh banyak orang, adalah
hermeneutika sebagai prinsip-prinsip penafsiran kitab suci (principles of
biblical interpretation). Ada pembenaran yang bersifat historis terhadap pemahaman
ini, karena kata hermeneutika pada era modern memang digunakan untuk mengisi
kebutuhan akan panduan dalam penafsiran Kitab Suci. Akan tetapi, hermeneutika
bukanlah isi penafsiran, melainkan metodenya. Perbedaan antara penafsiran
aktual (exegesis) dan aturan-aturan, metode-metode, dan teori yang mengaturnya
(hermeneutika) sudah sejak lama disadari, baik didalam refleksi teologis, dan
kemudian didalam refleksi-refleksi non teologis.[2]
Dalam
makalah ini akan dijelaskan tentang Hermeneutika E. Husserl yang merupakan
salah satu tokoh Filsafat yang tanpa sadar telah memberikan kontribusi kepada
Hermeneutika.
B. Rumusan Masalah
1. Biografi Edmund Husserl
2. Pemikiran Edmund. Husserl terhadap
Hermeneutika
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan supaya bisa
mengetahui apa saja kontribusi salah satu tokoh hermeneutika yang satu ini, E.
Husserl.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi Edmund Husserl
Edmund Gustav Albrecht Husserl (lahir di Prostějov (Prossnitz), Moravia, Ceko, 8 April 1859 – meninggal di Freiburg, Jerman, 26 April 1938 pada
umur 79 tahun) adalah seorang filsuf Jerman, yang dikenal sebagai “Bapak Fenomenologi”.
Karyanya meninggalkan orientasi yang murni Positivis dalam Sains dan Filsafat
pada masanya, dan mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan
kita tentang Fenomena Obyektif. Husserl dilahirkan dalam sebuah keluarga Yahudi di Prostějov (Proßnitz), Moravia, Ceko (yang itu merupakan bagian dari Kekaisaran Austria). Husserl adalah murid FranzBrentano dan Carl Stumpf; karya filsafatnya
memengaruhi, antara lain, Edith Stein (St.Teresa Benedicta dari Salib), Eugen Fink, Max Scheler, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Emmanuel Lévinas, Rudolf Carnap, Hermann Weyl, Maurice Merleau Ponty, dan Roman Ingarden. Pada 1887 Husserl berpindah agama menjadi Kristen dan bergabung dengan Gereja Lutheran.
Ia mengajar filsafat di Halle sebagai seorang tutor (Privatdozent) dari
1887, lalu di Göttingen sebagai profesor dari 1901, dan di Freiburg im Breisgau
dari 1916 hingga ia pensiun pada 1928. Setelah itu, ia melanjutkan
penelitiannay dan menulis dengan menggunakan perpustakaan di Freiburg, hingga
kemudian dilarang menggunakannya - karena ia keturunan Yahudi - yang
saat itu dipimpin oleh rektor, dan sebagian karena pengaruh dari bekas
muridnya, yang juga anak emasnya, Martin Heidegger.[3]
2. Karya-Karya Edmund Husserl[4]
·
1887. Über
den Begriff der Zahl. Psychologische Analysen.
·
1891. Philosophie
der Arithmetik. Psychologische und logische Untersuchungen. [1970,
Philosophy of Arithmetic]
·
1900. Logische
Untersuchungen. Erste Teil: Prolegomena zur reinen Logik. [1970, Logical
Investigations. Vol 1]
·
1901. Logische
Untersuchungen. Zweite Teil: Untersuchungen zur Phänomenologie und Theorie der
Erkenntnis. [1970, Logical Investigations. Vol 2]
·
1911. Philosophie
als strenge Wissenschaft. [1965, included in "Phenomenology and the
Crisis of Philosophy: Philosophy as Rigorous Science and Philosophy and the
Crisis of European Man"]
·
1913. Ideen
zu einer reinen Phänomenologie und phänomenologischen Philosophie. Erstes Buch:
Allgemeine Einführung in die reine Phänomenologie. [1931, Ideas: General
Introduction to Pure Phenomenology]
·
1923-24. Erste
Philosophie. Zweiter Teil: Theorie der phänomenologischen Reduktion. [1959,
First Philosophy, Vol 2: Phenomenological Reductions]
·
1925. Erste
Philosophie. Erste Teil: Kritische Ideengeschichte. [1956, First Philosophy
Vol 1: Critical History of Ideas]
·
1928. Vorlesungen
zur Phänomenologie des inneren Zeitbewusstseins.
·
1929. Formale
und transzendentale Logik. Versuch einer Kritik der logischen Vernunft.
[1969, Formal and Transcendental Logic]
·
1931. Méditations
cartésiennes. [1960, Cartesian Meditations]
·
1936. Die
Krisis der europäischen Wissenschaften und die transzentale Phänomenologie:
Eine Einleitung in die phänomenologische Philosophie. [1970, The Crisis of
European Sciences and Transcendental Phenomenology: An Introduction to
Phenomenological Philosophy]
·
1939. Erfahrung
und Urteil. Untersuchungen zur Genealogie der Logik. [1973, Experience
and Judgment]
·
1952. Ideen
II: Phänomenologische Untersuchungen zur Konstitution.
·
1952. Ideen
III: Die Phänomenologie und die Fundamente der Wissenschaften.
Beliau disebut-sebut sebagai Bapak Fenomenologi.
Sebelum membahas lebih jauh tentang pemikiran beliau kita perlu tahu terlebih
dahulu apa itu Fenomenologi.
1.
Pengertian
Fenomenologi berasal dari bahasa
Yunani dengan asal suku kata pahainomenon (gejala/fenomena). Adapun
studi Fenomenologi bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek
mengenai pengalaman beserta maknanya. Sedangkan pengertian fenomena dalam Studi
Fenomenologi sendiri adalah pengalaman/peristiwa yang masuk ke dalam kesadaran
subjek. Fenomenologi
merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi
mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri. “fenomen”
merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan
realitas dari kita, realitas itu sendiri tampak bagi
kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu
berarti kesadaran
akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas.
(intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh
intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.“Konstitusi”
merupakan proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen
mengkonstitusidiri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran
dan realitas, maka dapat dikatakankonstitusi adalah aktivitas kesadaran yang
memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran padadirinya lepas dari
kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan
karenayang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap
benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran.
Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia
ketika menjadi
fenomen bagi kesadaran intensional. Sebagai contoh dari konstitusi: “saya
melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang saya lihat merupakan suatu
perspektif dari gelas tersebut, saya melihat gelas itu dari depan, belakang,
kanan, kiri, atas dan seterusnya”. Tetapi
bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif
objek telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realitas. Suatu fenomen
tidak pernah merupakan suatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya.
Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah
umat manusia.
Sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Karena itu
konstitusi dalam filsafat Husserl selalu diartikan sebagai “konstitusi genetis”. Proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadireal dalam
kesadaran adalah merupakan suatu aspek historis. Husserl
juga mengungkapkan tentang reduksi transendental. Reduksi ini harus dilakukan
menurut Husserl lebih dikarenakan karena Husserl menginginkan fenomenologi menjadi
suatu ilmu rigous. Ilmu rigous tidak boleh
mengandung keraguan, atau ketidak pastian apapun juga. Ucapan yang dikemukakan
pada ilmurigorous harus bersifat “apodiktis” (tidak mengizinkan
keraguan). Suatu benda material tidak pernahdiberikan kepada kita secara
apodiktis dan absolut. Setiap benda material selalu diberikan dalam bentuk profil-profil.
Misalnya dari sebuah lemari yang ada di hadapan saya, saya hanya dapat melihat
depannya saja
tanpa dapat mengetahui bentuk depannya, dan ketika saya ingin melihat sisi
depannya, maka saya harus melihatnya dari sisi yang lainnya, namun setelah itu saya
tidak bisa melihat sisi depan dari profil-profil lain. Dengan
cara inilah benda-benda material tampak bagi saya. Setiap benda material tidak
pernah diberikan
kepada saya menurut segala profil-profilnya, secara total dan absolut. Cara
realitas material tampak bagi saya bersikap sedemikian rupa, sehingga tidak
dapat ditemukan pernyataan-pernyataanapodiktis dan absolut tentangnya. Karena
alasan-alasan itulah fenomenologi sebagai ilmu rigorous harusmulai dengan
mempraktekkan “reduksi transendental”.Wawasan utama fenomenologi adalah
“pengertian dan penje lasan dari suatu realitas harus dibuahkan darigejala
realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Dalam perkembangannya,
fenomenologi memang adabeberapa macam, antara lain: (a) fenomenologi Edid etik
dalam linguistik, fenomenologi Ingardendalam sastra, artinya pengertian murni
ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan danpemilahan, penyaringan
untuk menentukan keberada an, penggambaran gejala (refleksi),
fenomenologitransendental, dan (d) fenomenologi eksistnsial.Bagi fenomenologi
transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara tegas ditekankan.
Kesadaran aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap suatu
gejala amat penting. Bagi Fenomenologi
Eksitensial, penentuan pengertian dari gejala budaya semata-mata tergantung
individu.Refleksi individual menjadi “guru” bagi individu itu sendiri dalam
rangka menemukan kebenaran.Metode kualitatif fenomenologi berlandaskan pada
empat kebenaran, yaitu kebenaran empirik sensual,kebenaran empirik logik,
kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik transenden. Atas dasar cara mencapai
kebenaran ini, fenomenologi menghendaki kesatuan antara subyek peneliti dengan
pendukungobyek penelitian.Keter libatan subyek peneliti di lapangan dan
penghayatan fenomena yang dialami menjadi salah satu ciriutama. Hal tersebut
juga seperti dikatakan Moleong (1988:7-8) bahwa pendekatan fenomenologis
berusahamemahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa
dalam situasi-situasi tertentu.Mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual
para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehinggamereka mengerti apa dan
bagaimana suatu pengertian yang mereka kembangkan di sekitar peristiwa
dalamkehidupannya sehari hari. Makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk
menginterpretasikam pengalamanmelalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa
penger tian pengalaman kitalah yang membentukkenyataan.[6]
2.
Sejarah
Fenomenologi
Pada masa sebelum ada cara berpikir
fenomenologis, cara berpikir manusia dibagi dua kutub yang berlawanan 180
derajat yaitu: Idealisme dan Realisme. Kaum penganut Idealisme
menilai benda-benda maupun peristiwa yang terjadi disekitarnya berdasarkan
ide-ide yang dikembangkan dalam pikirannya. Kemudian ide-ide ini membentuk
semacam “frame of reference” yang secara subjectif dipahami sebagai kebenaran.
Dalam memandang dunia sekitarnya seorang idealist akan memakai acuan “frame of
reference”yang merupakan ide-ide dalam pikirannya. Oleh karena itu seorang
idealist biasanya juga sangat subjectif dalam menilai dunia sekitarnya.
Sumbangan idealisme kedunia adalah adanya penemuan-penemuan baru,ide-ide baru,
karya besar di bidang sastra, dll. Sedangkan kebalikannya kaum penganut
realisme, melihat benda-benda maupun sesuatu peristiwa yang ada sesuai dengan
keadaan nyata benda tersebut yangsecara nyata bisa diraba, diukur atau punyai
nilai tertentu. Kalau tidak bisa dibuktikan bahwa benda itunyata dan punya
nilai atau ukuran tertentu maka benda itu tidak pernah ada. Oleh karena itu
penganutrealisme cenderung kepada atheisme yang tidak percaya adanya Tuhan
karena Tuhan tidak bisa dilihatsecara nyata. Realisme sangat berpengaruh di
Eropa pada masa revolusi industri dan sumbangannyakedunia adalah kemajuan
“science & technology”.Pada sekitar awal abad ke 20, walaupun revolusi
industri terus bergerak, beberapa filsuf di Eropa seperti Edmund Husserl (1859
- 1938) mulai meragukan kehandalan cara berpikir realisme yang
seolah-olah tidak ada satupun dialam ini yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu
pengetahuan alam. Apapun yang telah ditemukan, persoalan-persoalan
dasar manusia tidak pernah bisa diselesaikan. Tidak semua hal bisa diselesaikan
dengan ilmu pengetahuan alam. Edmund Hursell memperkenalkan fenomenologi yang
belakangan dikembangkan menjadi eksistensialisme.Cara berpikir fenomenologi ditekankan
dengan pengamatan terhadap gejala-gejala dari suatu benda. Kalau seorang
penganut realisme menilai benda dengan cara melihat bentuk, ukuran dan nilai
suatu benda, maka seorang penganut fenomenologi melihat benda dengan
gejala-gejala yang muncul dari benda tersebut.Benda itu ada berdasarakan
gejala-gejala yang timbul dari benda itu sendiri, kita hanya menangkap
gejala-gejala tersebut. Benda tersebut bercerita tentang dirinya dengan
memancarkan gejala-gejala, dengan menangkap gejala tersebut kita bisa menangkap
esensi benda tersebut. Semua benda punya pancaran gejala-gejalanya
sendiri-sendiri, kita akan bisa lebih memahami benda tersebut apabila kita
menganggap benda sebagai subjek yang menceritakan diri sendiri melalui
gejala-gejala yang memancar darinya. Contohnya: kalau kita melihat kursi, kursi
itu sendiri memancarkan gejala-gejala bahwa dia itu kursi bukan meja. Kita
hanya perlu menangkap gejala yang muncul dari kursi tersebut kemudian kita
tidak akan salah bahwa dari gejala-gejala yang muncul dari kursi itu bahwa
kebenarannya dia itu kursi, bukan benda yanglain. Jelas cara berpikir ini
adalah cara berpikir yang radikal berbeda dengan cara berpikir idealisme maupun
Realisme. Idealisme memahami alam sekitarnya melalui manusia sebagai subject
dengan ide-ide pikirannya,benda disimpulkan sepenuhnya tergantung dari ide-ide
pikiran. Realisme memahami benda kalau benda itunyata berdasarkan ukuran atau
nilai. Sedangkan fenomenologi menganggap object sebagai subject yangbercerita
kepada kita melalui gejala-gejala yang timbul darinya.[7]
3.
Fenomenologi
Husserl Terkait Hermeneutik
Definisi
hermeneutika masihlah terus berkembang. Menurut Zygmunt Bauman dalam buku karya
Fahrudin Faiz yang berjudul Hermeneutika Al-Qur`an Tema-tema Kontrofersial
mendefinisikan hermeneutic secara lebih luas sebagai upaya menjelaskan dan
menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang
tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiktif yang menimbulkan
kebingungan bagi pendengar dan pembaca.[8],
Husserl menyatakan bahwa objek dan makna tidak pernah terjadi
secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral.
Meskipun arti dan makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan maknanya
atas dasar situasi objek, semuanya adalah sama saja. Dari sininilah kita lihat
keunggulan hermeneutik.
Mengenai
fakta Husserl cenderung menganggapnya sebagai sebuah datum kesadaran. Lain
halnya dengan Heidegger yang menganggap fakta keberadaan merupakan persoalan
yang masih lebih fundamental kesadaran dan pengetahuan manusia.[9]
Semua
interpretasi mencakup pemahaman. Namun pemahaman itu sangat kompleks di dalam
diri manusia sehingga para pemikir ulung maupun psikolog tidak pernah mampu
untuk menetapkan kapan seseorang mulai mengerti. Sebagai contoh misalnya
: kapan seseorang dinyatakan mengetahui adanya bahaya laten? Kapan
saatnya seorang anak dinyatakan sudah memahami matematika? Dapatkah kita
melihat tepatnya waktu seseorang menangkap arti sebuah kalimat yang diucapkan?
Untuk
dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti dan memahami.
Namun keadaan ‘lebih dahulu mengerti’ ini bukanlah didasarkan atas penentuan
waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab, menurut kenyataan, bila
seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukann interpretasi, dan juga sebaliknya.
Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi. Keduanya bukan dua
momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi menimbulkan ‘lingkaran
hermeneutik’
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
sumbangsih terhadap Hermeneutika, sebenarnya itu bukan tujuan Husserl. Husserl
memiliki dua “alergi” pada pemikirannya yang dapat kita pandang sebagai
hermeneutika. Pertama, sebagaimana yang terlihat dalam perdebatannya
melawan Dilthey dalam esai Logos (1911), dia menolak kecenderungan
historisismennya, sikap meremehkan yang juga dibuktikan oleh perdebatannya yang
diam-diam dan amat sengit dengan hermeneutika Heidegger. Kedua, Husserl
tidak menganggap fundamental gagasan tentang interpretasi.
Husserl memegang konsepsi yang bersifat Cartesian
tentang filsafat sampai akhir hayatnya, meskipun dia tidak pernah mengklaim
dirinya telah berhasil membawanya kepada sebuah titik ujung, klaimnya secara
pribadi sebenarnya amat sederhana, sebagaimana yang diperhatikan dalam kata
penutupi. dia hanya ingin meneguhkan kembali membawanya kepada sebuah titik
ujung,klaimnya secara pribadi sebenanrnya sangat amat sederhana, sebagaimana
yang diperlihatkan dalam kata penutup Ideen. Dia hanya ingin meneguhkan
kembali pusat perhatiannya pada integritas absolute yang mempresentasikan
gagasan tentang filsafat bagi kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://kuliahfilsafat.blogspot.com/2009/05/definisi-hermeneutika.html
diunduh pada 23 februari 2014. 18:00 WIB.
2.
http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2013/05/11/cara-kerja-hermeneutik/diunduh
pada 23 februari 2014. 17:00 WIB.
4.
Faiz Fahrudin .
Hermeneutika Al-Qur`an Tema-tema Kontrofersial. Yogyakarta : eLSAQ
Press. 2005.cet1. hal. 5
5.
Palmer
E.Richard , Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Hermeneutics
Interpretation Theory In Schleirmacher, Dilthey,Heidegger, And Gadamer
Northwestern University Press, Evanston, 1969. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005, cet 2. Hal 143.
6. B.Saenong
Ilham, Hermeneutika Pembebasan Metodologi Penafsiran Menurut Hasan Hanafi,
Jakarta Selatan: Teraju, 2002, cet 1, hal 23.
[1]
Ilham B.Saenong, Hermeneutika Pembebasan Metodologi Penafsiran Menurut Hasan
Hanafi, Jakarta Selatan: Teraju, 2002, cet 1, hal 23.
[6] http://mfsfpsi08.web.unair.ac.id/artikel_detail 47851 PSIKOLOGI PENDEKATAN%20FENOMENOLOGI.html
dinduh pada 19 februari 2014. 2:30 pm.
[7]
Ibid.
[8]
Fahrudin
Faiz. Hermeneutika Al-Qur`an Tema-tema Kontrofersial. Yogyakarta : eLSAQ
Press. 2005.cet1. hal. 5
[9]
Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj.
Hermeneutics Interpretation Theory In Schleirmacher, Dilthey,Heidegger, And
Gadamer Northwestern University Press, Evanston, 1969. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005, cet 2. Hal 143.
IZIN COPAS YA
BalasHapus