Jumat, 23 Mei 2014

Pers, di bawah Tirani Kapitalisme

Oleh: M. Fikri Yudin



       Era reformasi dimulai ketika Suharto lengser dari jabatannya sebagai presiden Republik Indonesia pada tanggal  21 Mei 1998. Sebuah era di mana media diberikan kebebasan untuk terus berekspresi mengeksplor semua fenomena yang ada. Puluhan hingga ratusan media massa (baca: cetak) leluasa terbit dengan fokus liputan yang beragam; mulai dari politik, ekonomi, hingga persoalan gaya hidup. Namun seiring dengan berjalannya era reformasi, banyak media cetak mulai berguguran akibat ketatnya persaingan antar-media. Umumnya media cetak yang tidak dapat bertahan di permukaan adalah mereka yang memfokuskan perhatiannya pada bidang politik dan ekonomi. Sebut saja tabloid Detak, koran Monitor, majalah Prospek, majalah Tiras, serta majalah DR merupakan sedikit bukti ketatnya persaingan antar-media yang membuat mereka harus gulung tikar (Ahmad Junaidi: 2012).
            Media cetak yang dapat bertahan pada umumnya selalu memfokuskan perhatiannya terhadap pangsa pasar. Pemberitaan yang terdapat di dalamnya akan menyesuaikan dengan selera mayoritas masyarakat setempat, untuk menarik perhatian pasar. Sudah agak lama dunia pers bukan lagi dianggap sebagai 'institusi' yang bermodalkan idealisme semata, akan tetapi lebih terhadap bentuk industrialisasi media.
            Jika kembali melihat ke belakang, akan nampak jelas nilai yang sudah bergeser dari idealisme pers. Pada zaman kolonialisme Belanda dan tirani belenggu Jepang, media menjadi sarana yang efektif untuk menyampaikan idealisme para tokoh perjuangan. Penerbitan pers banyak disemangati oleh idealisme nasionalis yang menginginkan kemerdekaan. Sebut saja Ir. Soekarno, Moh. Hatta, serta Adam Malik yang memulai perjuangannya melalui idealisme yang tertulis melalui tinta media. Bahkan pada saat proklamasi dikumandangkan, media berperan penting dalam penyebaran kemerdekaan bangsa Indonesia dari tirani penjajah, bukti nyata bahwa media menjadi sarana idelisme bangsa.
            Saat media sudah dikuasai oleh industri, maka idealisme kapitalis akan memainkan peran penting di belakangnya. Media bukan lagi menjadi sarana idealisme bangsa, akan tetapi bangsa yang menjadi objek idealismenya. Kapitalisme pers akan menciptakan suatu persaingan media yang tidak lagi didasari oleh perbedaan opini dan view, akan tetapi memperluas pasar pembaca menjadi modus utama dari persaingan tersebut. Sebagai sebuah industri, pers akan mencari pasar-pasar yang akan mendatangkan keuntungan yang besar dari produk berita yang diperjualkan. Ketika idealisme sudah tidak lagi mendatangkan keuntungan di pangsa pasar, maka ia akan ditinggalkan oleh pemilik modal, dan akan lenyap begitu saja tanpa meninggalkan bekas karena tirani kapitalis yang menguasai pers.
            Dampak reformasi berakibat pada industrialisasi media. Pada era Orde Baru, kebebasan pers dikekang. Media yang masih penuh dengan idealisme tidak dapat berkutik di bawah rezim Suharto. Namun sekarang, ketika pers dan media mendapatkan kebebasan penuh, bahkan dijadikan pilar negara yang keempat selain eksekutif, yudikatif, dan legislatif, idealismelah yang tak mendapatkan ruang dalam kokpit kapitalis. Tujuan pers yang semula sebagai media monitoring kebijakan pemerintah, kini telah berubah menjadi media yang memonitoring pangsa pasar.
            Indonesia adalah negara multikultural dimana masyarakatnya terdiri dari berbagai macam etnis, ras, maupun agama. Dalam satu agama pun masih banyak sekte-sekte yang berbeda pendapat dalam menginterpretasi teks-teks keagamaan, tak terkecuali Islam. Tidak sedikit sekte dalam islam memiliki perbedaan pendapat satu sama lain, bahkan sejak zaman sahabat, sudah banyak sekte bermunculan. Di Indonesia terdapat banyak sekte yang setidaknya dapat digolongkan menjadi enam; tradisionalisme, post-tradisionalisme, modernisme, neo-modernisme, revivalisme dan fundamentalisme (belum lagi liberalism dan ekstrimisme). Dari sekian banyak sekte yang tersebar akan menghasilkan perbedaan pendapat yang tidak dapat dihindari. Dalam multi-interpretasi teks keagamaan, acap kali menimbulkan konflik-konflik yang mengatasnamakan agama. Kelompok-kelompok intoleran biasanya tidak akan tinggal diam untuk menindak sekte yang tidak seakidah dengannya, bahkan sampai harus berbuat anarkis. Dalam banyak kasus keberagama(a)n, bagaimanakah seharusnya peran media menyediakan berita kepada masyarakat.
            Media cetak biasanya mewartakan kejadian suatu konflik antar-agama sebatas permukaan belaka kepada halayak pembaca, dengan judul-judul yang bahkan mendiskriminasi kelompok minoritas. Seringkali pembaca ikut terprovokasi oleh pemberitaan yang disediakan media, bahkan tak sedikit yang mendiskriminasi kelompok minoritas yang berbeda keyakinan. Pemberitaan yang berat sebelah ini mengkibatkan kelompok minoritas yang selalu menjadi korban berubah status sebagai tersangka yang harus diadili.   
            Cover Both Side yang sekiranya menjadi salah satu dasar dalam dunia jurnalistik, rasanya tidak akan berlaku untuk mewartakan konflik-konflik asimetris, apalagi menyangkut prihal yang amat sensitif, seperti keyakinan dalam beragama. Di sini konsep afirmatif berlaku, ketika seorang jurnalis bersikap netral dalam menyikapi konflik asimetris, maka secara tidak langsung ia telah berpihak kepada kelompok mayoritas. Padahal, dalam dunia peace jurnalism kelompok minoritaslah yang suranya harus diprioritaskan, bukan sebaliknya membela kelompok mayoritas dalam penyajian berita dengan dalih cover both side tersebut.
            Dalam realitas dunia pers saat ini, memang sulit untuk mewujudkan konsep peace jurnalism. Suatu konsep jurnalisme yang memang baru tumbuh dewasa ini, dimana fokus perhatiannya mengangkat isu-isu konflik asimetris dengan memprioritaskan suara minoritas untuk menyelesaikan konflik dengan jalan yang damai. Salah satu alasannya adalah dunia pers yang sudah dikuasai oleh kapitalis. Pemilik modal, biasanya akan memilih untuk berada di comfort zone saat menyajikan isu-isu tersebut dalam medianya. Hal ini dilakukan, karena si pemilik modal tidak ingin media yang berada di bawah tangguhannya ditinggalkan oleh para pembaca jika ia berpihak kepada komunitas minor. Ditinggalkan pembaca berarti berkurangnya konsumen. Jika konsumen berkurang, tidak akan ada perusahaan yang mau mengiklankan produknya di media tersebut, maka imbasnya pendapatan akan berkurang. Inilah yang ingin dihindari oleh pemilik modal dalam dunia pers.
            Suatu cerminan dunia pers yang dikuasai kapitalis. Hak-hak kaum minoritas untuk dapat menyuarakan pendapatnya dibatasi oleh media, hanya untuk kepentingan kolektivisme. Kepentingan yang hanya menguntungkan sebelah pihak dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dalam konflik asimetris. Mereka yang seharusnya menjadi korban, dapat berubah status sebagai tersangka dengan opini yang disediakan media demi menarik perhatian konsumen. Tergerakah anda melihat realitas ini? Biarlah hati dan tindakan anda yang menjawabnya.        
 

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com