Era
reformasi dimulai ketika Suharto lengser dari jabatannya sebagai presiden Republik
Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998.
Sebuah era di mana media diberikan kebebasan untuk terus berekspresi
mengeksplor semua fenomena yang ada. Puluhan hingga ratusan media massa (baca:
cetak) leluasa terbit dengan fokus liputan yang beragam; mulai dari politik,
ekonomi, hingga persoalan gaya hidup. Namun seiring dengan berjalannya era
reformasi, banyak media cetak mulai berguguran akibat ketatnya persaingan
antar-media. Umumnya media cetak yang tidak dapat bertahan di permukaan adalah
mereka yang memfokuskan perhatiannya pada bidang politik dan ekonomi. Sebut
saja tabloid Detak, koran Monitor, majalah Prospek, majalah
Tiras, serta majalah DR merupakan sedikit bukti ketatnya
persaingan antar-media yang membuat mereka harus gulung tikar (Ahmad Junaidi:
2012).
Media
cetak yang dapat bertahan pada umumnya selalu memfokuskan perhatiannya terhadap
pangsa pasar. Pemberitaan yang terdapat di dalamnya akan menyesuaikan dengan
selera mayoritas masyarakat setempat, untuk menarik perhatian pasar. Sudah agak
lama dunia pers bukan lagi dianggap sebagai 'institusi' yang bermodalkan
idealisme semata, akan tetapi lebih terhadap bentuk industrialisasi media.
Jika
kembali melihat ke belakang, akan nampak jelas nilai yang sudah bergeser dari
idealisme pers. Pada zaman kolonialisme Belanda dan tirani belenggu Jepang,
media menjadi sarana yang efektif untuk menyampaikan idealisme para tokoh
perjuangan. Penerbitan pers banyak disemangati oleh idealisme nasionalis yang
menginginkan kemerdekaan. Sebut saja Ir. Soekarno, Moh. Hatta, serta Adam Malik
yang memulai perjuangannya melalui idealisme yang tertulis melalui tinta media.
Bahkan pada saat proklamasi dikumandangkan, media berperan penting dalam
penyebaran kemerdekaan bangsa Indonesia dari tirani penjajah, bukti nyata bahwa
media menjadi sarana idelisme bangsa.
Saat
media sudah dikuasai oleh industri, maka idealisme kapitalis akan memainkan
peran penting di belakangnya. Media bukan lagi menjadi sarana idealisme bangsa,
akan tetapi bangsa yang menjadi objek idealismenya. Kapitalisme pers akan
menciptakan suatu persaingan media yang tidak lagi didasari oleh perbedaan
opini dan view, akan tetapi memperluas pasar pembaca menjadi modus utama
dari persaingan tersebut. Sebagai sebuah industri, pers akan mencari
pasar-pasar yang akan mendatangkan keuntungan yang besar dari produk berita
yang diperjualkan. Ketika idealisme sudah tidak lagi mendatangkan keuntungan di
pangsa pasar, maka ia akan ditinggalkan oleh pemilik modal, dan akan lenyap
begitu saja tanpa meninggalkan bekas karena tirani kapitalis yang menguasai
pers.
Dampak
reformasi berakibat pada industrialisasi media. Pada era Orde Baru, kebebasan
pers dikekang. Media yang masih penuh dengan idealisme tidak dapat berkutik di
bawah rezim Suharto. Namun sekarang, ketika pers dan media mendapatkan kebebasan
penuh, bahkan dijadikan pilar negara yang keempat selain eksekutif, yudikatif,
dan legislatif, idealismelah yang tak mendapatkan ruang dalam kokpit kapitalis.
Tujuan pers yang semula sebagai media monitoring kebijakan pemerintah, kini
telah berubah menjadi media yang memonitoring pangsa pasar.
Indonesia
adalah negara multikultural dimana masyarakatnya terdiri dari berbagai macam
etnis, ras, maupun agama. Dalam satu agama pun masih banyak sekte-sekte yang
berbeda pendapat dalam menginterpretasi teks-teks keagamaan, tak terkecuali Islam.
Tidak sedikit sekte dalam islam memiliki perbedaan pendapat satu sama lain,
bahkan sejak zaman sahabat, sudah banyak sekte bermunculan. Di Indonesia terdapat
banyak sekte yang setidaknya dapat digolongkan menjadi enam; tradisionalisme,
post-tradisionalisme, modernisme, neo-modernisme, revivalisme dan
fundamentalisme (belum lagi liberalism dan ekstrimisme). Dari sekian banyak
sekte yang tersebar akan menghasilkan perbedaan pendapat yang tidak dapat
dihindari. Dalam multi-interpretasi teks keagamaan, acap kali menimbulkan
konflik-konflik yang mengatasnamakan agama. Kelompok-kelompok intoleran
biasanya tidak akan tinggal diam untuk menindak sekte yang tidak seakidah
dengannya, bahkan sampai harus berbuat anarkis. Dalam banyak kasus
keberagama(a)n, bagaimanakah seharusnya peran media menyediakan berita kepada
masyarakat.
Media
cetak biasanya mewartakan kejadian suatu konflik antar-agama sebatas permukaan
belaka kepada halayak pembaca, dengan judul-judul yang bahkan mendiskriminasi
kelompok minoritas. Seringkali pembaca ikut terprovokasi oleh pemberitaan yang
disediakan media, bahkan tak sedikit yang mendiskriminasi kelompok minoritas
yang berbeda keyakinan. Pemberitaan yang berat sebelah ini mengkibatkan
kelompok minoritas yang selalu menjadi korban berubah status sebagai tersangka
yang harus diadili.
Cover Both Side yang
sekiranya menjadi salah satu dasar dalam dunia jurnalistik, rasanya tidak akan
berlaku untuk mewartakan konflik-konflik asimetris, apalagi menyangkut prihal
yang amat sensitif, seperti keyakinan dalam beragama. Di sini konsep afirmatif
berlaku, ketika seorang jurnalis bersikap netral dalam menyikapi konflik
asimetris, maka secara tidak langsung ia telah berpihak kepada kelompok
mayoritas. Padahal, dalam dunia peace
jurnalism kelompok minoritaslah yang suranya harus diprioritaskan, bukan
sebaliknya membela kelompok mayoritas dalam penyajian berita dengan dalih cover both side tersebut.
Dalam
realitas dunia pers saat ini, memang sulit untuk mewujudkan konsep peace jurnalism. Suatu konsep jurnalisme
yang memang baru tumbuh dewasa ini, dimana fokus perhatiannya mengangkat
isu-isu konflik asimetris dengan memprioritaskan suara minoritas untuk
menyelesaikan konflik dengan jalan yang damai. Salah satu alasannya adalah
dunia pers yang sudah dikuasai oleh kapitalis. Pemilik modal, biasanya akan
memilih untuk berada di comfort zone
saat menyajikan isu-isu tersebut dalam medianya. Hal ini dilakukan, karena si
pemilik modal tidak ingin media yang berada di bawah tangguhannya ditinggalkan
oleh para pembaca jika ia berpihak kepada komunitas minor. Ditinggalkan pembaca
berarti berkurangnya konsumen. Jika konsumen berkurang, tidak akan ada
perusahaan yang mau mengiklankan produknya di media tersebut, maka imbasnya
pendapatan akan berkurang. Inilah yang ingin dihindari oleh pemilik modal dalam
dunia pers.
Suatu
cerminan dunia pers yang dikuasai kapitalis. Hak-hak kaum minoritas untuk dapat
menyuarakan pendapatnya dibatasi oleh media, hanya untuk kepentingan
kolektivisme. Kepentingan yang hanya menguntungkan sebelah pihak dengan
mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dalam konflik asimetris. Mereka yang
seharusnya menjadi korban, dapat berubah status sebagai tersangka dengan opini
yang disediakan media demi menarik perhatian konsumen. Tergerakah anda melihat
realitas ini? Biarlah hati dan tindakan anda yang menjawabnya.
0 komentar:
Posting Komentar