Minggu, 31 Januari 2016

Filologi Nusantara: Diskursus Sejarah Perkembangan

E-mail: fikriyudin@yahoo.com/fikriyudin@gmail.com
Abstrak
Sebagian besar kalangan menganggap bahwa filologi adalah sebuah studi yang kurang menarik. Objek kajian yang dianggap telah usang dan beberapa alasan lainnya dijadikan stigma untuk disiplin ilmu yang satu ini. Namun sejarah membuktikan kejayaan kajian filologi, baik dalam tradisi Barat maupun Islam. Di Indonesia sendiri, manuskrip-manuskrip Nusantara telah ditemukan pada abad ke-7. Namun, kajian filologi pertama kali dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Filolog pribumi sendiri baru bermunculan pada tahun 1965-an.
Pengantar
Dalam kajian ilmu-ilmu humaniora, filologi sering dijadikan sebagai anak tiri. Tidak jarang filologi dipandang sebagai sebuah disiplin keilmuan yang kurang menarik, tidak trendi, dan mungkin, telah using. Stigma terhadap disiplin Filologi ini, antara lain didasari dari objek kajian filologi yang berupa teks-teks tua yang usang ditelan zaman. Bentuk fisik yang sangat usang tersebut sangat tidak menggairahkan untuk ditelaah di zaman moderen ini. Alasan kedua yang membuat filologi kurang diminati, karena terdapat anggapan bahwa isi teksnya yang merupakan pergulatan intelektual di masa lalu, tidak layak dibahas pada masa sekarang. Mereka menganggap, tidak ada gunanya membangkitkan sesuatu yang telah mati. Persepsi yang disampaikan kelompok ini, didasari dari asumsi bahwa filologi tidak memiliki kontribusi yang nyata dalam menyelesaikan problmatika yang dialami oleh manusia modern.
Namun, stigma-stigma yang dilontarkan untuk mendiskriminasi filologi, nampaknya tak memiliki landasan historis yang kuat. Disiplin filologi pernah mencapai prestasi spiritual dan ilmiah dalam berbagai  peradaban, baik peradaban Barat maupun peradaban Islam. Reynolds dan N. G. Wilson, sebagaiamana dikutip sudibyo (2007: 108) menjelaskan bahwa pada abad ke-3 SM para ahli bahasa yang berdomisili di Komplek Perpustakaan Iskandariyah berhasil memecahkan kode-kode aksara Yunani Kuno, yang kemudian sangat bermanfaat untuk menyingkap misteri di balik gulungan papyrus koleksi perpustakaan tersebut. Para intelektual tersebut juga berhasil merekonstruksi logos (sabda langit) dalam Al-Kitab yang waktu itu terdapat dalam beberapa versi.
Dalam tradisi Islam, kajian filologis bermula dari terkonstruknya tata bahasa ilmiah karya Khalid bin Ahmad dan Sibaweyh, serta kebangkitan peradaban fiqh (Yurispudensi), ijtihad (hermeneutika yurispudensi), dan ijtihad (interpretasi). Pada tahap selanjutnya, fiqh lughawi, hermeneutika bahasa muncul dalam budaya Arab-Islam sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam praktik pembelajaran Islam. Aktivitas-aktivitas ini berlangsung pada abad ke-12 dalam tradisi intelektual Islam, jauh sebelum dunia Barat-Kristen mengadopsinya. (Sudibyo, 2007:108)  
Geliat perkembangan filologi juga terjadi di Indonesia. Meski bangsa ini baru genap berusia 70 tahun pada 17 Agustus lalu, namun Indonesia memiliki peninggalan manuskrip-manuskirp yang sangat banyak. Tidak kurang dari 5000 naskah dengan 800 teks tersebar dalam berbagai museum dan perpustakaan di penjuru dunia. (Siti Bararah Baried, dkk, 1994: 9). Objek kajian filologi yang melimpah di bumi Nusantara, seharusnya menjadi mortar bagi kebangkitan kajian filologi di negeri ini. Sejarah kajian filologi di Nusantara perlu diangkat ke permukaan, guna mendesripsikan geliat kajian filologi. Lebih lanjut, kajian ini bisa menjadi tolak ukur telah sejauh mana kajian filologis di Indonesia.
Bahasan
Secara etimologis, filologi berarti ketertarikan terhadap kata. Dalam arti ini, filologi bersinonim dengan berbagai kajian tentang bahasa, dan hampir seluruh studi tentang produk jiwa manusia. Namun, secara khusus, filologi dimaknai sebagai konfigurasi keahlian ilmiah yang sesuai dengan kekuratoran teks historis (historical text curatorship) (Sudibyo, 2007: 108). Dalam artian khusus ini, filologi memiliki dua tugas utama, mengidentifikasi dan merestorasi setiap teks dari berbagai masa yang telah lampau.
Di Indonesia, tradisi peulisan naskah sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India, terutama sebelum abad ke-14 M. Teks-teks yang diprediksi muncul sejak abad ke-7 banyak dipengaruhi oleh agama Budha, serta menggunakan bahasa sansekerta sebagai bahasa pengantarnya. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada saat itu, Sriwijaya menjadi pusat pemerintahan yang menguasai Nusantara.
Teks yang berasal dari India banyak disalin, didiskusikan, dan diberikan komentar dalam bahasa Jawa Kuno. Dalam kurun waktu beberapa abad, bahasa Sansekerta menjadi salah satu bahasa terpenting bagi kalangan cendikiawan dan agamawan di Sumatra, Jawa, dan Bali. Pada perkembangan selanjutnya, model-model teks sansekerta ini banyak memengaruhi penulisan teks asli dalam bahasa Jawa Kuno yang menyebabkan karakteristik tersendiri dalam penulisan teks di Nusantara pada kala itu (Oman Fathutahman, 2015: 41).
Salah satu perubahan penting dalam sejarah dan tradisi tulis naskah di Indonesia adalah ketika pengaruh Islam semakin kuat pada abad ke-13, serta bergantinya bahasa sansekserta menjadi bahasa Melayu sebagai bahasa politik, dagang, agama, dan budaya. Pada abad ke-14, tradisi penulisan naskah Melayu dengan menggunakan aksara Jawi mulai mendominasi, khususnya di wilayah Selat Malaka. Namun, sampai saat ini, jejak-jejak aksara pra-Islam masih dapat ditemukan (Oman Fathurahman, 2015: 42).
Meski manuskrip-manuskrip Nusantara telah ada sejak abad ke-7 M, namun kajian filologi di Indonesia baru tumbuh dan berkembang pada saat Pemerintah Kolonial Belanda melalui ide beschaving missie (misi pemberadaban). Untuk mewujudkan visi tersebut, Belanda membangun dua institusi pusat: Nederlandsch Bijbelgenootschap (NBG) dan Koninklijk Instituut voor Taal-en Volkenkunde (KITLV). NBG bergerak dalam syiar agama Kristen, sedangkan KILTV fokus dalam riset bahasa, geografi, dan antropologi (Sudibyo, 2007: 111).
Salah satu misi utama NBG adalah menerjemahkan Al-Kitab dalam bahasa daerah di wilayah jajahan Belanda. Untuk itu, NBG tidak ingin merekrut penerjemah amatir. Lembaga tersebut menetapkan syarat yang ketat untuk penerjemah Al-Kitab yang diberi kedudukan sebagai taalafgecaardidge (utusan bahasa). Dapat difahami, tujuan dari dibentuknya lembaga ini adalah untuk menanamkan nilai-nilai kristiani kepada penduduk pribumi.
Sedangkan KITLV didirikan untuk menginfentaris pengetahuan ilmiah tentang bahasa, geografi, dan antropoplogi Jawa yang dapat memberikan kontribusi nyata bagi pemerintah kolonial. Dengan cara demikian, maka kekuasaan Belanda dapat dipertahankan dalam kurun waktu yang lama. (Sudibyo, 2007: 112) Tujuan itu menjelaskan bahwa lembaga KITLV didirikan untuk mempertahankan pemerintahan absolut Belanda di bumi Nusantara, khususnya Jawa.
Hasrat intelektual pribumi untuk mengkaji teks-teks Nusantara baru muncul setelah tahun 1965, ketika mulai terjalin pelbagai kerjasama antara perguruan tinggi Indonesia dengan sejumlah institusi yang ada di luar negeri. Sebelumnya, kajian-kajian filologi di Indonesia belum terbina. Salah satu hal yang paling memengaruhi adalah masuknya berbagai teori sastra, sepert strukturalisme, intertekstualitas, resepsi, serta berbagai teori lainnya ke dalam khazanah intelektual di Indonesia, tak terkecuali para pengkaji naskah. Hal tersebut terjadi pada awal tahun 1960-an (Oman Fathurhman, dkk, 2010: 16).
Berbagai pendekatan teori  sastra dalam mengkaji naskah-naskah kuno tersebut, telah memberikan kontribusi besar dalam perkembangan kajian filologi di Indonesia. Ikram, sebagaimana dikutip Oman Fathurahman, dkk (2010:17) mengatakan bahwa para filolog menjadi lebih sistematis dalam menelusuri makna dan fungsi naskah sebagai sebuah jenis sastra lama. Hingga saat ini,  pendekaan kajian naskah dengan memanfaatkan berbagai teori sastra banyak diikuti oleh para pengkaji naskah generasi selanjutnya.
Simpulan
Meski baru berumur 70 tahun, Indonesia telah memiliki beribu-ribu naskah kuno yang tersebar di berbagai negeri. Meski demikian, kajian filologi pertama kali dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan mendirikan dua lembaga: NBG dan KILTV. Namun, harus ada pemetaan kembali, mengingat hasil kajian filologi orientalis hanya berorientasi pada kebutuhan kolonialisme. Kebangkitan filolog pribumi sendiri telah terlihat pada tahun 1965-an. Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan teori sastra, kajian filologi di Nusantara terus berkembang hingga sekarang.
Referensi
Baried, Siti Bararah, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Jogjakarta: BPPF Seksi Filologi, Fak. Sastra, UGM).   
Fathurahman, Oman, dkk. 2010. Filologi dan Islam Indonesia. Jakarta: Pasutbang Lektur Keagamaan.
--------------------------------. 2015. Filologi Indonesia: Teori dan Metode. Jakarta: Prenada Media Group
Sudibyo. 2007. Kembali ke Filologi: Filologi Indonesia dan Tradisi Orientaslisme. Dalam Jurnal Humaniora Volume 19. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada.


luvne.com luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com.com